Bulan makin meninggi. Bentuknya bulat sempurna. Abu – abu warnanya. Dengan motif yang telah lama kukenal, orang duduk bersimpuh. Cahaya bintang tak berdaya menghadapi ribuan cahaya dari lampu – lampu rumah, apartemen dan bangunan yang menjulang tinggi. Ditambah dengan kepungan asap polusi di udara kota ini. Tak ada awan. Langit yang muram.
Aku duduk di balkon kos yang luas. Mungkin muat untuk lima orang duduk bersama. Mata ini sama sekali tak mau terpejam., sekedar membuat raga jatuh, melepas lelah dan roh bermain – main dalam alam mimpi yang indah. Sepertinya, sekali lagi, sekali lagi aku menyerah. Menyerah untuk sekedar terlerlap malam ini. Kuhisap dalam – dalam sebatang rokok kesukaanku. Rokok dengan lambang lima buah gudang yang berjajar rapi dengan dua gudang pertama yang pintunya terbuka, setelah itu terbuka setengahnya dan terkahir gudang dengan pintu yang tertutup rapat. Sebuah rel kereta melintas di depan jajaran gudang tersebut, mengarah ke dua bunuh gunung yang menjulang tinggi di kejauhan. Lambang yang penuh makna.
Pandanganku menatap jauh. Jauh melewati bunga kamboja yang sedang bermekeran. Gradasi warna dari kuning ke putih yang sangat indah di pandang. Melewati rumah tingkat di seberang jalan. Menembus polusi udara yang mengepung. Menatap langit yang sama seperti hari kemarin. Biasa saja. Berusaha menghapus sebuah peristiwa pahit yang baru saja terjadi. Sesekali asap rokok menghembus, membentuk kepulan asap yang abstrak.
Gemeresik dedauan pohonan sawo di sebelah kiri membuyarkan lamunan. Angin dingin berhembus entah darimana. Tak ada angin. Bahkan daun – daun bunga kamboja tak bergoyang. Aroma bunga kamboja menyeruak. Lamunanku buyar. Tetiba kau muncul di depanku.
Cara jalanmu itu, yang anggun dan lemah gemulai, masih saja mempesonaku. Beberapa langkah saja, hingga kau duduk bersimpuh di depanku. Kau masih seperti saat pertama kali kita bertemu. Tak ada yang berubah. Bahkan kerutan pun sama sekali tak mau muncul di wajahmu yang ayu itu. Kulitmu masih seperti dulu, kuning langsat, lembut, tanpa ada kerutan sedikitpun dan licin. Seakan–akan seekor kupu–kupu akan tergelincir bila hinggap di kulitmu. Rambut yang tersanggul rapi dengan untaian bunga kantil yang indah sebagai penghias rambutmu, menambah kesan anggun, mistis dan angkuhmu. Hidung yang bangir. Tubuh yang sekal. Aku takjub.
Setengah jam berlalu. Aku masih terpesona dengan penampilanmu. Kau masih duduk bersimpuh. Mata belo yang kau miliki menatap tajam ke arahku. Kita beradu pandang. Tak ada sepatah kata yang terucap. Seakan kita saling mengerti. Saling berbicara melalui mata. Namun tetiba, tatapanmu berubah. Lembut, mendung dan menentramkan. Membuat nyaman hati ini.
“Apa kabar?”, kau bertanya dengan suara khasmu yang lembut.
“Baik, Nyai. Nyai sendiri, bagaimana kabarnya?”
“Kau lihat? Aku baik – baik saja.”
Hening sejenak.
“Engaku masih seperti dulu. Masih menggunakan jarik itu. Jarik bermotif parang barong. Warnanya pun tak memudar, masih enak dipandang. Perpaduan coklat dan putih dengan garis yang sangat tegas memisahkan kedua warna itu. Garis yang membentuk gambar seperti ombak yang terus menerus. Mengapa kau tak menggantinya, Nyai?”
“Tak apa. Kau tahu alasannya.”, jawabmu dengan suara pelan. “Aku merindumu.”
“Ya. Telah lama kita tak berjumpa. Akupun juga merindukanmu.”
“Aku menunggu kabarmu. Lama sekali. Hingga akhirnya kau memanggilku kesini. Ke sebuah kota hasil usahaku mempengaruhi bangsamu untuk melupakan-Nya. Aku bangga. Budak – budakku banyak di kota ini. Bersujud. Menyebahku.”
“Haha.”
“Jadi, ada apa gerangan? Jangan sungkan”, matamu menatap tajam ke arah mataku. Menembus ke dalam relung hati yang terdalam.
Aku menghela nafas. “Banyak kejadian berlalu begitu cepat. Silih berganti menamparku. Aku lelah. Lemah. Tak mengerti lagi.”
“Lalu?”
“Aku tak tahu harus mulai darimana.”
“Kau masih saja seperti dulu. Resah. Terlalu banyak yang kau pikirkan. Kau…”
“Ya engkau tahulah, Nyai”, buru – buru aku memotong perkataannya.
“Jangan mencari pelarian dari kesepianmu. Aku tahu masalahmu. Jangan kau berharap pada sesuatu di dunia ini, apalagi pada manusia. Jadi, ceritalah.”
“Ya. Aku telah berharap. Menjadikan dia pelarianku.”, sekali lagi aku menghela nafas. “Tak lama, mungkin awal bulan ini. Aku bertemu dengannya di sebuah coffee shop yang terletak di seberang Sungai Cisadane.” Pikiranku menerawang jauh. “Seorang wanita. Wanita yang mahal. Wanita yang anggun – tapi tak seanggun engkau tentunya, Nyai. Paras yang sejuk namun sekaligus meremehkan. Dengan make-up yang seperlunya. Cara berpakaian yang baik dan menawan. Berjilbab tentunya. Dari tatapan matanya, aku tahu…..”
“Mencerminkan dirinya yang mandiri, tegas dan sedang berubah menjadi lebih baik baik, bukan? Dan kau pun jatuh cinta.”
“Seperti itulah…. Dan engkau tahu bagaimana keadaanku sebelumnya.”
“Kau masih saja acuh denghan keadaan sekitar. Mengejar tujuanmu. Ke –AKU– an yang tinggi.”
“Itulah awal dari seluruh petaka. Aku tahu, aku tak awas. Sejak pertemuan pertama itu, kita saling berkenalan dan semua berlalu begitu cepat. Kita sering menjalin komunikasi. Menjadi dekat. Rupanya dia menunjukkan sebuah kode untuk menjalin hubungan yang serius denganku. Dan, yah, aku jatuh cinta.”
“Hmmm… Lalu?”, Nyai masih mengejar.
“Simpel sebenarnya. Aku tak awas. Tak siap. Awalnya aku mengunci hatiku terhadap cinta yang datang dan menganggap sebuah hubungan dengan seorang wanita hanyalah sebuah permainan. Tapi, engkau tahu? Ada sebuah variabel eksternal yang amat sangat kuat. Dia datang dengan seluruh kuasa-Nya. Dengan mudahnya membuka kunci hati ini, yang ku kunci dengan rapat. Membolak – balikkan hatiku. Aku menjadi serius dengan dia, namun Dia datang dengan sebuah ketetapan-Nya. Menutup hati wanita itu. Menjauhkan kita. Dia… Membolak – balikkan hati hamba-Nya.”
“Kau sudah tahu. Memang sepertiu itulah Dia. Menjadi sutradara terbaik di alam ini. Semua yang ada di alam ini, hanyalah bidak-Nya. Bahkan aku pun juga termasuk, memerankan peran antagonis. Dengan segala kekuasan-Nya memberi cobaan kepada makhluk-Nya sebagai sebuah intrik – intrik kecil dalam skenario-Nya.”
“Ya. Dengan sebuah catatan, Dia menilai makhluk-Nya dapat mengatasi dan melewati cobaan yang Ia berikan.”
“Cih. Memang seperti itu watak Dia. Agar makhluk-Nya kembali kepada-Nya. Memuja-Nya. Menyebut-Nya. Dasar gila pujian. Ingin ekseistensinya tak terganggu.”, katanya sinis.
“Ah, tak seperti itu juga, Nyai. Engkau pun juga mirip dengan Dia. Terkadang doa–doa, ataupun malah mayoritas doa–doa yang di panjatkan hanya untuk engkau dan bangsamu. Eksistensimu juga masih akan berlangsung lama. Kau tahu lah di tanah ini, di pulau ini, masih banyak masyarakat yang menyembahmu secara sembunyi – sembunyi ataupun bersembunyi dalam jubah agama. Lalu engkau kabulkan dengan cepat dan mudah. Namun dengan syarat yang……”
“SSSSTTT… CUKUP!”, Nyai membentak. Mukanya berubah. Sepasang taring keluar. “Jangan kau lanjutkan lagi perkatanmu!”
“Baiklah.”
“Kembali ke permasalahan awal. Ceritakan lagi. Aku tahu ini belum selesai. Bagaimana dengan orang yang memberimu sebuah nasihat?”
“Aaahhhh, kau tahu juga tentang masalah itu?”
“Begitulah. Karena aku serba tahu. Mendekati Tuhanmu yang Maha Tahu.”
“Hmmm… Lalu orang itulah yang membawa petaka. Orang itu menemuiku. Mendatangiku lebih tepatnya. Disaat aku benar – benar terpuruk karena Cinta. Saat aku sedang berdiskusi atau lebih tepatnya membual dengan seorang kawan. Di coffee shop itu. Coffee shop yang sama saat aku bertemu dengan wanita itu. Beberapa hari sebelum lebaran, mungkin. Kita berdiskusi sepanjang malam hingga adzan subuh berkumandang. Menghabiskan tingga hingga empat gelas kopi.”
Hening sejenak. Aku menghela nafas lagi. Nyai masih menunggui kata – kata yang akan keluar dari mulutku.
“Aku sedang lemah. Hatiku masih kacau. Orang itu datang, mengoyak keteguhan hati ini dengan berbagai pertanyaan mengenai kehidupan dan hidup.”
“Pertanyaan awal tentang hubunganmu dengan wanita itu, bukan?”
“Tepat! Padahal dia telah mengetahui bagaimana hubunganku dengan wanita itu. Entah mengapa dia bertanya seperti itu. Aku tak menjawab. Mungkin orang itu masih menginginkan kepastian. Aku pun tak bergeming. Masih tak menjawab. Hingga akhirnya orang itu memberi wejangan kepadaku, membuka beberapa kesalahan yang mengakibatkan hubungaku berakhir. Kesalahan yang memang ku sengaja. Lalu, engkau tahulah, Nyai.”
“Orang itu menjadi seseorang yang terlihat bijak, bukan?”
“Ya, lalu dengan indahnya pertanyaan–pertanyaan tentang hidup meluncur dengan indahnya. Melemahkanku. Seperti apa tujuan hidupku, apa saja yang telah aku raih dan pertanyaan–pertanyaan sejenis. Tentu kau tahu apa jawabanku.”
“Menjadi seorang petani.”
“Ya. Sederhana. Seorang petani. Petani yang tahu dan paham mengenai A hingga Z. Petani yang dapat memajukan petani – petani lain. Membuat mereka tak lagi menjadi mangsa kapitalisme.”
“Dan kau ingin mencari kententraman hati. Karena kau tahu sesuatu.”
“Bagiku, hidup ini sungguh sederhana. Manusia lahir sendirian, tanpa memakai apapun di raga ini. Lalu matipun juga sendirian dan bedanya bila beruntung, mengenakan kain kafan. Bila beruntung. Bila raga dan roh manusia itu tak kau ambil untuk menjadi budakmu.”, aku terdiam sejenak. “Maaf, bukan maksud untuk menyinggung. Hanya mengatakan apa yang sebenarnya.”
“Aku maklum. Aku tahu, karena bagimu segala yang ada di dunia ini, seperti uang, kekayaan, jabatan, kekuasaan dan semua hal di dunia ini hanyalah fana. Termasuk kebebasan.”
“Ya, semuanya hanya titipan. Fana. Tak pasti. Di dunia ini hanya ada satu yang pasti, kematian. Semua yang ada di langit, bumi beserta isinya adalah milik Dia. Semua itu dititipkan. Tak akan di bawa ke fase hidup berikutnya. Lalu buat apa kita terlalu bernafsu mengejar perhiasan–perhiasan itu, sehingga membuat dan menjadikan manusia makhluk yang tamak, congkak, jahat dan lupa kepada Dia, Sang Penguasa dan Pemilik Hidup?”
Nyai tertawa, “Begitulah bangsamu.”
“Orang itu menertawakan tujuan hidupku. Aku tahu inti pembicaraanya. Karena orang itu dengan bangga menceritakan mengenai apa yang telah di dapat. Mobil mewah, sebuah usaha yang sedang maju, kemewahan dan seorang istri. Menurut orang itu, tujuanku terlalu abstrak. Bagi orang itu tujuan hidup itu sukses. Sukses yang bisa diukur dengan barang yang bersifat raga, fisik, materi. Uang dan kekayaan. Kau tahukan tujuanku? Apa salahnya abstrak?”
“Menjadi petani. Semua tergantung dari sisi mana kita melihat.”
Nyai tertawa sinis.
“Kenapa?”
“Kutemui lagi manusia yang terhasut oleh bujuk rayu bangsaku. Jujur. Aku senang. Mungkin esok aku akan menggelar sebuah pesta.”
“Ya.. Ya.. Ya.. Engaku menang, Nyai”
“Hahahaha. Aku tahu. Mudah sekali sekarang ini menghasut manusia. Apalagi para pemuka agama. Mereka telah kehilangan Tuhan di hati mereka. Dan lagi aku tertawa melihat keadaan negerimu sekarang ini.”
“Berhenti, Nyai! Pembicaraan kita terlalu melebar!”
Nyai berhenti, “Okay.”, dia melihat keluar “Bagaimanapun, aku tahu kamu. Aku tahu bagaimana dunia ini berjalan. Namun, kau harus tahu, diatas sebuah kesempurnaan yang ada hanyalah sebuah kesederhanaan. Semua harus kembali. Membumi. Merendah.”
Aku menggangguk. Mengantuk.
“Sepertinya aku harus pulang. Matahari sebentar lagi terbit.”, Nyai pamit. Berisap untuk berdiri.
“Ah iya, sebaiknya kau berhati – hati dengan penghuni pohon itu.”, sambil menunjuk pohon sawo disebelah kiri, “Aku rasa dia agak kurang tidak baik.”
Nyai berdiri, membalikkan badan membelakangiku. Baru beberapa langkah, Nyai berputar lagi.
“Sebentar lagi. Sebaiknya kau bersiap. Mutih dan tirakat lah. Kode–kode itu sudah kau dapatkan, bukan? Mulai dari yang terdekat. Ke arah matahari terbenam. Lalu berputarlah ke arah matahari terbit. Dan, pulanglah. Karena sebaik – baiknya perjalanan adalah pulang. Kau tahu kan tempatmu pulang?”
“Sendiko dawuh, Nyai. Beberapa kode alam telah kudapat, Nyai. Tapi yang mengganggu pikiran ini, bagaimana aku bisa mutih, bila bertemu dengan genderuwo – sang penghuni pohon sawo – serta kuntilanak di belakang rumah ini saja masih takut?”
“Jalankan saja.”
Angin dingin berhembus. Adzan subuh berkumandang. Nyai telah hilang. Pulang. Pulang ke sebuah tempat yang telah membesarkanku lebih dari 14 tahun.
Rasa kantuk menyerang lagi. Sial. Sebentar lagi harus mulai bekerja.