Bulan makin meninggi. Bentuknya bulat sempurna. Abu – abu warnanya. Dengan motif yang telah lama kukenal, orang duduk bersimpuh. Cahaya bintang tak berdaya menghadapi ribuan cahaya dari lampu – lampu rumah, apartemen dan bangunan yang menjulang tinggi. Ditambah dengan kepungan asap polusi di udara kota ini. Tak ada awan. Langit yang muram.

Aku duduk di balkon kos yang luas. Mungkin muat untuk lima orang duduk bersama. Mata ini sama sekali tak mau terpejam., sekedar membuat raga jatuh, melepas lelah dan roh bermain – main dalam alam mimpi yang indah. Sepertinya, sekali lagi, sekali lagi aku menyerah. Menyerah untuk sekedar terlerlap malam ini. Kuhisap dalam – dalam sebatang rokok kesukaanku. Rokok dengan lambang lima buah gudang yang berjajar rapi dengan dua gudang pertama yang pintunya terbuka, setelah itu terbuka setengahnya dan terkahir gudang dengan pintu yang tertutup rapat. Sebuah rel kereta melintas di depan jajaran gudang tersebut, mengarah ke dua bunuh gunung yang menjulang tinggi di kejauhan. Lambang yang penuh makna.

Pandanganku menatap jauh. Jauh melewati bunga kamboja yang sedang bermekeran. Gradasi warna dari kuning ke putih yang sangat indah di pandang. Melewati rumah tingkat di seberang jalan. Menembus  polusi udara yang mengepung. Menatap langit yang sama seperti hari kemarin. Biasa saja. Berusaha menghapus sebuah peristiwa pahit yang baru saja terjadi. Sesekali asap rokok menghembus, membentuk kepulan asap yang abstrak.

Gemeresik dedauan pohonan sawo di sebelah kiri membuyarkan lamunan. Angin dingin berhembus entah darimana. Tak ada angin. Bahkan daun – daun bunga kamboja tak bergoyang. Aroma bunga kamboja menyeruak. Lamunanku buyar. Tetiba kau muncul di depanku. 

Cara jalanmu itu, yang anggun dan lemah gemulai, masih saja mempesonaku. Beberapa langkah saja, hingga kau duduk bersimpuh di depanku. Kau masih seperti saat pertama kali kita bertemu. Tak ada yang berubah. Bahkan kerutan pun sama sekali tak mau muncul di wajahmu yang ayu itu. Kulitmu masih seperti dulu, kuning langsat, lembut, tanpa ada kerutan sedikitpun dan licin. Seakan–akan seekor kupu–kupu akan tergelincir bila hinggap di kulitmu. Rambut yang tersanggul rapi dengan untaian bunga kantil yang indah sebagai penghias rambutmu, menambah kesan anggun, mistis dan angkuhmu. Hidung yang bangir. Tubuh yang sekal. Aku takjub.

Setengah jam berlalu. Aku masih terpesona dengan penampilanmu. Kau masih duduk bersimpuh. Mata belo yang kau miliki menatap tajam ke arahku. Kita beradu pandang. Tak ada sepatah kata yang terucap. Seakan kita saling mengerti. Saling berbicara melalui mata. Namun tetiba, tatapanmu berubah. Lembut, mendung dan menentramkan. Membuat nyaman hati ini.

“Apa kabar?”, kau bertanya dengan suara khasmu yang lembut.

“Baik, Nyai. Nyai sendiri, bagaimana kabarnya?”

“Kau lihat? Aku baik – baik saja.”
Hening sejenak.

“Engaku masih seperti dulu. Masih menggunakan jarik itu. Jarik bermotif parang barong. Warnanya pun tak memudar, masih enak dipandang. Perpaduan coklat dan putih dengan garis yang sangat tegas memisahkan kedua warna itu. Garis yang membentuk gambar seperti ombak yang terus menerus. Mengapa kau tak menggantinya, Nyai?”

“Tak apa. Kau tahu alasannya.”, jawabmu dengan suara pelan. “Aku merindumu.”

“Ya. Telah lama kita tak berjumpa. Akupun juga merindukanmu.”

“Aku menunggu kabarmu. Lama sekali. Hingga akhirnya kau memanggilku kesini. Ke sebuah kota hasil usahaku mempengaruhi bangsamu untuk melupakan-Nya. Aku bangga. Budak – budakku banyak di kota ini. Bersujud. Menyebahku.”

“Haha.”

“Jadi, ada apa gerangan? Jangan sungkan”, matamu menatap tajam ke arah mataku. Menembus ke dalam relung hati yang terdalam.

Aku menghela nafas. “Banyak kejadian berlalu begitu cepat. Silih berganti menamparku. Aku lelah. Lemah. Tak mengerti lagi.”

“Lalu?”

“Aku tak tahu harus mulai darimana.”

“Kau masih saja seperti dulu. Resah. Terlalu banyak yang kau pikirkan. Kau…”

“Ya engkau tahulah, Nyai”, buru – buru aku memotong perkataannya.

“Jangan mencari pelarian dari kesepianmu. Aku tahu masalahmu. Jangan kau berharap pada sesuatu di dunia ini, apalagi pada manusia. Jadi, ceritalah.”
“Ya. Aku telah berharap. Menjadikan dia pelarianku.”, sekali lagi aku menghela nafas. “Tak lama, mungkin awal bulan ini. Aku bertemu dengannya di sebuah coffee shop yang terletak di seberang Sungai Cisadane.” Pikiranku menerawang jauh. “Seorang wanita. Wanita yang mahal. Wanita yang anggun – tapi tak seanggun engkau tentunya, Nyai. Paras yang sejuk namun sekaligus meremehkan. Dengan make-up yang seperlunya. Cara berpakaian yang baik dan menawan. Berjilbab tentunya. Dari tatapan matanya, aku tahu…..”
“Mencerminkan dirinya yang mandiri, tegas dan sedang berubah menjadi lebih baik baik, bukan? Dan kau pun jatuh cinta.”
“Seperti itulah…. Dan engkau tahu bagaimana keadaanku sebelumnya.”
“Kau masih saja acuh denghan keadaan sekitar. Mengejar tujuanmu. Ke –AKU– an yang tinggi.”
“Itulah awal dari seluruh petaka. Aku tahu, aku tak awas. Sejak pertemuan pertama itu, kita saling berkenalan dan semua berlalu begitu cepat. Kita sering menjalin komunikasi. Menjadi dekat. Rupanya dia menunjukkan sebuah kode untuk menjalin hubungan yang serius denganku. Dan, yah, aku jatuh cinta.”
“Hmmm… Lalu?”, Nyai masih mengejar.
“Simpel sebenarnya. Aku tak awas. Tak siap. Awalnya aku mengunci hatiku terhadap cinta yang datang dan menganggap sebuah hubungan dengan seorang wanita hanyalah sebuah permainan. Tapi, engkau tahu? Ada sebuah variabel eksternal yang amat sangat kuat. Dia datang dengan seluruh kuasa-Nya. Dengan mudahnya membuka kunci hati ini, yang ku kunci dengan rapat. Membolak – balikkan hatiku. Aku menjadi serius dengan dia, namun Dia datang dengan sebuah ketetapan-Nya. Menutup hati wanita itu. Menjauhkan kita. Dia… Membolak – balikkan hati hamba-Nya.”
“Kau sudah tahu. Memang sepertiu itulah Dia. Menjadi sutradara terbaik di alam ini. Semua yang ada di alam ini, hanyalah bidak-Nya. Bahkan aku pun juga termasuk, memerankan peran antagonis. Dengan segala kekuasan-Nya memberi cobaan kepada makhluk-Nya sebagai sebuah intrik – intrik kecil dalam skenario-Nya.”
“Ya. Dengan sebuah catatan, Dia menilai makhluk-Nya dapat mengatasi dan melewati cobaan yang Ia berikan.”
“Cih. Memang seperti itu watak Dia. Agar makhluk-Nya kembali kepada-Nya. Memuja-Nya. Menyebut-Nya. Dasar gila pujian. Ingin ekseistensinya tak terganggu.”, katanya sinis.
“Ah, tak seperti itu juga, Nyai. Engkau pun juga mirip dengan Dia. Terkadang doa–doa, ataupun malah mayoritas doa–doa yang di panjatkan hanya untuk engkau dan bangsamu. Eksistensimu juga masih akan berlangsung lama. Kau tahu lah di tanah ini, di pulau ini, masih banyak masyarakat yang menyembahmu secara sembunyi – sembunyi ataupun bersembunyi dalam jubah agama. Lalu engkau kabulkan dengan cepat dan mudah. Namun dengan syarat yang……”
“SSSSTTT… CUKUP!”, Nyai membentak. Mukanya berubah. Sepasang taring keluar. “Jangan kau lanjutkan lagi perkatanmu!”
“Baiklah.”
“Kembali ke permasalahan awal. Ceritakan lagi. Aku tahu ini belum selesai. Bagaimana dengan orang yang memberimu sebuah nasihat?”
“Aaahhhh, kau tahu juga tentang masalah itu?”
“Begitulah. Karena aku serba tahu. Mendekati Tuhanmu yang Maha Tahu.”
“Hmmm… Lalu orang itulah yang membawa petaka. Orang itu menemuiku. Mendatangiku lebih tepatnya. Disaat aku benar – benar terpuruk karena Cinta. Saat aku sedang berdiskusi atau lebih tepatnya membual dengan seorang kawan. Di coffee shop itu. Coffee shop yang sama saat aku bertemu dengan wanita itu. Beberapa hari sebelum lebaran, mungkin. Kita berdiskusi sepanjang malam hingga adzan subuh berkumandang. Menghabiskan tingga hingga empat gelas kopi.”
Hening sejenak. Aku menghela nafas lagi. Nyai masih menunggui kata – kata yang akan keluar dari mulutku.
“Aku sedang lemah. Hatiku masih kacau. Orang itu datang, mengoyak keteguhan hati ini dengan berbagai pertanyaan mengenai kehidupan dan hidup.”
“Pertanyaan awal tentang hubunganmu dengan wanita itu, bukan?”
“Tepat! Padahal dia telah mengetahui bagaimana hubunganku dengan wanita itu. Entah mengapa dia bertanya seperti itu. Aku tak menjawab. Mungkin orang itu masih menginginkan kepastian. Aku pun tak bergeming. Masih tak menjawab. Hingga akhirnya orang itu memberi wejangan kepadaku, membuka beberapa kesalahan yang mengakibatkan hubungaku berakhir. Kesalahan yang memang ku sengaja. Lalu, engkau tahulah, Nyai.”
“Orang itu menjadi seseorang yang terlihat bijak, bukan?”
“Ya, lalu dengan indahnya pertanyaan–pertanyaan tentang hidup meluncur dengan indahnya. Melemahkanku. Seperti apa tujuan hidupku, apa saja yang telah aku raih dan pertanyaan–pertanyaan sejenis. Tentu kau tahu apa jawabanku.”
“Menjadi seorang petani.”
“Ya. Sederhana. Seorang petani. Petani yang tahu dan paham mengenai A hingga Z. Petani yang dapat memajukan petani – petani lain. Membuat mereka tak lagi menjadi mangsa kapitalisme.”
“Dan kau ingin mencari kententraman hati. Karena kau tahu sesuatu.”
“Bagiku, hidup ini sungguh sederhana. Manusia lahir sendirian, tanpa memakai apapun di raga ini. Lalu matipun juga sendirian dan bedanya bila beruntung, mengenakan kain kafan. Bila beruntung. Bila raga dan roh manusia itu tak kau ambil untuk menjadi budakmu.”, aku terdiam sejenak. “Maaf, bukan maksud untuk menyinggung. Hanya mengatakan apa yang sebenarnya.”
“Aku maklum. Aku tahu, karena bagimu segala yang ada di dunia ini, seperti uang, kekayaan, jabatan, kekuasaan dan semua hal di dunia ini hanyalah fana. Termasuk kebebasan.”
“Ya, semuanya hanya titipan. Fana. Tak pasti. Di dunia ini hanya ada satu yang pasti, kematian. Semua yang ada di langit, bumi beserta isinya adalah milik Dia. Semua itu dititipkan. Tak akan di bawa ke fase hidup berikutnya. Lalu buat apa kita terlalu bernafsu mengejar perhiasan–perhiasan itu, sehingga membuat dan menjadikan manusia makhluk yang tamak, congkak, jahat dan lupa kepada Dia, Sang Penguasa dan Pemilik Hidup?”
Nyai tertawa, “Begitulah bangsamu.”
“Orang itu menertawakan tujuan hidupku. Aku tahu inti pembicaraanya. Karena orang itu dengan bangga menceritakan mengenai apa yang telah di dapat. Mobil mewah, sebuah usaha yang sedang maju, kemewahan dan seorang istri. Menurut orang itu, tujuanku terlalu abstrak. Bagi orang itu tujuan hidup itu sukses. Sukses yang bisa diukur dengan barang yang bersifat raga, fisik, materi. Uang dan kekayaan. Kau tahukan tujuanku? Apa salahnya abstrak?”
“Menjadi petani. Semua tergantung dari sisi mana kita melihat.”
Nyai tertawa sinis.
“Kenapa?”
“Kutemui lagi manusia yang terhasut oleh bujuk rayu bangsaku. Jujur. Aku senang. Mungkin esok aku akan menggelar sebuah pesta.”
“Ya.. Ya.. Ya.. Engaku menang, Nyai”
“Hahahaha. Aku tahu. Mudah sekali sekarang ini menghasut manusia. Apalagi para pemuka agama. Mereka telah kehilangan Tuhan di hati mereka. Dan lagi aku tertawa melihat keadaan negerimu sekarang ini.”
“Berhenti, Nyai! Pembicaraan kita terlalu melebar!”
Nyai berhenti, “Okay.”, dia melihat keluar “Bagaimanapun, aku tahu kamu. Aku tahu bagaimana dunia ini berjalan. Namun, kau harus tahu, diatas sebuah kesempurnaan yang ada hanyalah sebuah kesederhanaan. Semua harus kembali. Membumi. Merendah.”
Aku menggangguk. Mengantuk.
“Sepertinya aku harus pulang. Matahari sebentar lagi terbit.”, Nyai pamit. Berisap untuk berdiri.
“Ah iya, sebaiknya kau berhati – hati dengan penghuni pohon itu.”, sambil menunjuk pohon sawo disebelah kiri, “Aku rasa dia agak kurang tidak baik.”
Nyai berdiri, membalikkan badan membelakangiku. Baru beberapa langkah, Nyai berputar lagi.
“Sebentar lagi. Sebaiknya kau bersiap. Mutih dan tirakat lah. Kode–kode itu sudah kau dapatkan, bukan? Mulai dari yang terdekat. Ke arah matahari terbenam. Lalu berputarlah ke arah matahari terbit. Dan, pulanglah. Karena sebaik – baiknya perjalanan adalah pulang. Kau tahu kan tempatmu pulang?”
“Sendiko dawuh, Nyai. Beberapa kode alam telah kudapat, Nyai. Tapi yang mengganggu pikiran ini, bagaimana aku bisa mutih, bila bertemu dengan genderuwo – sang penghuni pohon sawo – serta kuntilanak di belakang rumah ini saja masih takut?”
“Jalankan saja.”
Angin dingin berhembus. Adzan subuh berkumandang. Nyai telah hilang. Pulang. Pulang ke sebuah tempat yang telah membesarkanku lebih dari 14 tahun.
Rasa kantuk menyerang lagi. Sial. Sebentar lagi harus mulai bekerja.





Source: ig @kanamedia_
Pada sebuah senja dari ratusan senja yang telah kulalui di kota ini, aku menemukan sebuah kafe kecil di seberang Sungai Cisadane, berjarak kurang lebih 2 km dari pusat kota. Tanpa adanya shop sign yang menunjukkan keberadaannya. Dua buah meja dengan masing-masing memiliki kursi kayu panjang dan 2 buah kursi kayu yang diletakkan di kiri kanan pintu masuk. Terdapat tulisan “push” dipintu masuk yang terbuat dari kaca. Kudorong pintu bersama dengan kesepian yang menggelayut di dalam dada. Disambut dengan senyuman ramah pemiliknya, sepasang suami istri muda, dan wajah yang bergairah karena ini kafe pertama mereka. Kubalas senyuman mereka ala kadarnya. Seperti orang yang berada di tempat yang baru, ku melihat sekeliling ruangan. Dinding yang masih dalam tahap di plester dengan warna khas beton dan hitam dibagian belakang kafe, beberapa lampu berwarna kuning yang diletakkan di langit-langit, membuat kafe ini nyaman untuk kekasih yang ingin memadu kasih. Beberapa balok kayu sungkai dipasang rapi di langit-langit dengan latar berwarna hitam. Tiga set meja kursi tertata rapi dengan sebuah pot tanaman mainan kecil sebagai pemanis diletakkan ditengah-tengah meja. Saat mata ini menuju ke bar untuk memilih biji-biji kopi yang akan kuminum, mata ini berhenti seperkian detik pada sosok bidadari yang sedang duduk manis di depan bar. Bercanda dengan pasangan suami istri yang sedang sibuk mempersiapkan beberapa peralatan. Kucuri pandang saat sedang memilih biji-biji kopi, mungkin 5 menit kuhabiskan hanya untuk memutuskan kopi apa yang akan kuminum.

Bisikan angin laut yang kering. Mentari yang perlahan – lahan pulang ke peraduannya. Masih memancarkan sisa – sisa egonya, menambah panas para penerima. Warna lembayung sebagai latar, guratan kuas sang pencipta, menciptakan siluet awan di ufuk timur, menentramkan hati. Pantulan sinar mentari di Sungai Cisadane, titik – titik cahaya bermunculan, perpaduan warna lembayung dan coklat-nya Sungai Cisadane. Kepakan sayap dan cuitan burung pipit yang hendak kembali ke sarang ditimpa deru mesin kendaraan bermotor yang telah mulai lelah, setelah seharian mengaspali jalanan kota ini. Suara klakson yang saling sahut menyahut, menandakan sang pengendara ingin segera mencapai tujuannya, entah segera ke rumah untuk bertemu keluarga dan beristirahat atau segera bergumul dengan kekasih gelap untuk meluapkan cinta, rindu dan nafsu yang lama terpendam.

Bau karbon monoksida hasil pembakaran mesin kendaraan bermotor menyeruak dan bersatu dengan wangi asap rokok yang baru dua menit lalu ku sulut. Rasa smoky, gurih dan pedas dalam setiap hisapannya menggelitik lidah. Membiarkan jutaan zat kimia adiktif masuk ke dalam tubuh. Memberikan jalan bagi nikotin dan tar berjalan leluasa melewati arteri. Mengahantarkan implus nikotin ke serebelum untuk selanjutnya menyebar bebas di serebum. Membuat tubuh ini melayang.

Malam  datang. Bulan bersinar terang. Cahayanya malu – malu menembus polusi yang sudah terlalu menumpuk di kota ini. Kedipan bintang tak tampak. Malam telah meninggi. Menyelimuti mimpi – mimpi indah para pemimpi. Mengantarkan doa – doa para pendoa ke langit. Membawa harapan para pendoa. Mendengar cerita sendu tentang rindu dan tangis hati yang telah retak bagi siapapun yang menangis malam ini.

Malam mulai meninggi. Kegelapan datang. Semerbak seduhan aroma bunga camomile memenuhi indera pembau ini. Memberikan kenyamanan dan ketenangan bagi hati dan pikiran yang telah lelah ini. Selain kalimat “Laa Hawla wa Laa Quawwata illa Billah” yang tak henti – hentinya keluar dari mulut ini. Lagu “Honest” dari Kodaline melantun sendu keluar dari headphone membuat suasana ruangan 4 x 5 meter ini menjadi begitu pilu. Mata ini terpejam, menikmati suasana yang tercipta.

Dalam kegelapan, Tangan besar itu perlahan – lahan turun dari langit. Melambai – lambai. Seakan mengatakan “Kemarilah”. Tanpa komando, kaki ini melangkah secepatnya menuju Tangan yang turun tersebut. Tangan itu mengeluarkan sesuatu yang sepertinya tak asing lagi dan memberikannya. Pikiran ini menyelam kedalam lautan ingatan. Mencari ingatan akan sesuatu yang hendak diberikan Tangan itu. Belum selesai pikiran ini mencari, tangan ini menerima pemberian Tangan besar itu. “Oh, jangan kau terima sesuatu itu!”, teriak pikiran yang telah menemukan ingatan akan sesuatu yang tak asing lagi itu. Tapi apadaya, Tangan itu telah menghilang ditelan kegelapan. “Ah, sepertinya kegembiraan telah datang”, gumam hati yang bangun dari tidurnya yang lama. Seketika itu juga, kegelapan perlahan – lahan hilang. Berganti menjadi cahaya yang indah. “Aku akan datang kembali!”, teriak kegelapan dalam ketiadaan.

Malam sedikit meninggi. Sunyi mulai datang. “Laa Hawla wa Laa Quawwata illa Billah” masih saja keluar dari mulut ini. Semerbak aroma seduhan bunga camomile masih memenuhi ruangan ini. Senandung “Honest” dari Kodaline telah berganti menjadi “High Hopes”. Masih dari band yang sama. Mata ini terpejam.

Cahaya yang indah itu semakin hari menjadi indah. Sesuatu yang asing itu kini telah menguasai pikiran. Meluluhkan penolakan keras dari pikiran. “Entah kenapa, kau semakin indah”, kata pikiran. Hati menari dan tertawa gembira bersama sesuatu yang tak asing itu. Pikiran dan hati bersatu padu ingin memeluk dan tak akan melepaskan sesuatu yang tak asing itu. Seakan sesuatu itu merupakan milik mereka yang telah dijanjikan oleh Tangan besar. “Hai, aku kembali lagi!”, teriak kegelapan dari kejauhan. Tiba- tiba Tangan besar itu datang. Hendak merebut sesuatu yang tak asing itu. Hati dan pikiran kukuh mempertahankan sesuatu yang tak asing itu. Tapi apa daya, Tangan lebih kuat dari hati dan pikiran. Dengan seenaknya, Tangan itu mengambil sesuatu yang tak asing dari dekapan hati dan pikiran. “Ini bukan milikmu dan kau tak berhak bersamanya”, kata Tangan. Kegelapan mulai datang, cahaya mulai menghilang bersamaan dengan menghilangnya Tangan Besar itu. “Hai, apakah ada yang mau kalian ceritakan?”, tanya kegelapan. Hati menangis. Pikiran tertunduk lesu. “Banyak”, sahut mereka bersamaan.

Malam sudah meninggi. Sunyi dan gelap. Aroma seduhan bunga camomile telah hilang, tapi efeknya perlahan – lahan sedikit menenangkan hati yang terus saja merajuk dan menangis. Setelah beberapa lama, hati tertidur untuk waktu yang lama. Entah kapan terbangun kembali. Lagu “High Hopes” telah berganti menjadi “All I Want” masih dari Kodaline. Malam ini hanya tiga lagu tersebut yang selalu melantun sendu keluar dari headphone. “Laa Hawla wa Laa Quawwata illa Billah” perlahan – lahan menghilang dari ucapan. Berubah menjadi beribu pertanyaan yang mempertanyakan kebijakan-Mu. Mata ini terpejam, ingin sekali bertemu.

Lalu apa gunanya aku berusaha keras untuk mengubah nasibku. Mendapatkan apa yang aku inginkan bila ternyata aku tak berdaya atas apa yang sudah Kau tulisankan suatu kisah dengan tinta-Mu jauh sebelum aku lahir di dunia ini?

aku jatuh dilubang yang sama. Kau tahu itu? Apa yang Kau inginkan? Belajar dari kesalahan sebelumnya dan memperjuangkan wanita itu?

Aih, apalah aku ini. Hanya sebuah butiran debu yang tak berdaya di hadapan-Mu. Percuma aku berjuang kalaupun ternyata ini sudah dituliskan. Kau pun tahu kan?

Masih banyak pertanyaanku. Mungkin tak akan langsung Engkau jawab. Mungkin aku akan menunggu datang hingga fajar menyising. Atau, aku akan menunggu hingga 30 kali fajar datang atau mungkin aku harus menunggu hingga ratusan fajar datang untuk mendapatkan jawaban dari Engkau. Ya! Mungkin aku hanya bisa menunggu. Maafkanlah aku yang telah lancang mempertanyakan skenario-Mu dan berilah aku tanda – tanda apa yang harus kuperbuat di dalam hidupku. Aku akan menunggu.......

Dan yah....

Semoga senyum selalu terkembang di wajahmu. Semoga kau bahagia, wahai wanita yang telah sudi membubuhkan tintamu dalam kertasku yang masih kotor ini. Semoga kau selalu bahagia.

Laa Hawla wa Laa Quawwata illa Billah” mulai terucap kembali......

Tangerang, 07 Agustus 2017


Cipta Swastika

Sudah bulan Agustus nih. Biasanya kalo udah masuk bulan ke–delepan, kampung – kampung maupun kota besar di Indonesia penuh dengan ornamen, hiasan dan bendera merah putih di setiap sudutnya. Hiruk pikuk kemerdekaan sudah mulai terasa pada awal bulan dan hari – hari selanjutnya hingga biasanya sebelum tanggal 17 Agustus, euforia kemerdekaan ditandai dan dilanjutkan dengan dengan lomba – lomba kemerdekaan. Seperti lomba makan kerupuk *ini nih, lomba paling meriah, gampang – gampang sulit dan pastinya paling banyak dinikmati anak – anak*, pecah air, balap karung dan lomba yang memerlukan kerja sama dan kerja keras, panjat pinang! Kebanyakan lomba – lomba itu diperuntukkan untuk anak – anak dan digunakan untuk srawung (bersosialisasi) dan guyub (berkumpul) antar warga di lingkungan tersebut. Menang dan kalah tidak dipermasalahkan di lomba tersebut, yang penting asyyiikkk brooo, semuanya ketawa dan tegang melihat tingkah anak kecil saat berlomba.

Euforia kemerdekaan juga sangat terasa di lingkungan rumahku. Hiasan bendera merah putih plastik terpasang di sepanjang jalan. Panitia kemerdekaan *eh salah, panitia HUT RI* mulai dibentuk pada awal bulan dan lomba – lomba mulai diadakan mulai dari tanggal 8 Agustus 2016 dengan dibukanya pertandingan ping – pong antar bapak – bapak dan pemuda di lingkungan rumah. Lomba – lomba kemerdekaan yang diadakan panitia untuk anak – anak adalah lomba pecah air, lomba makan krupuk, lomba futsal 4 vs 4 dan lomba jelajah. Untuk lomba jelajah, anak – anak di bagi per kelompok dan di acak untuk nantinya menjelajah di lingkungan sekitar. Anak – anak ditugaskan untuk menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh panitia. Anak – anak menjawab pertanyaan di setiap pos yang ada. Pertanyaan – pertanyaan seputar Indonesia seperti lambang sila ke- tiga dan seputar lingkungan rumah.

Ada kejadian lucu, entah karena panitia yang kebanyakan masih muda atau apa, mereka salah saat memberikan jawaban pertanyaan lambang pancasila sila ke – tiga. Mereka justru menjawab kepala banteng untung lambang sila ke – tiga. Heemm, mungkin mereka mabuk. Padahal kan jawaban yang benar pohon beringin, hehehe. Mungkin mereka harus banyak belajar kepada Zaskia Go**ik yang merupakan duta pancasila, agar mereka lebih pintar goyang itiknya, hehehe. Eh salah, lebih pintar pancasilanya.

Selain lomba kemerdekaan, panitia juga mengadakan acara yang dapat diikuti oleh semua elemen masyarakat, seperti jalan sehat dan malam tirakatan. Jalan sehat ini diikuti oleh seluruh elemen masyarakat di lingkunganku, mulai dari anak – anak hingga orang tua a.k.a senior ikut semua. Jalan sehat ini diadakan pada tanggal 14 Agustus 2016, pada hari minggu pagi. Pas banget dah. Pas semuanya pada di rumah dan enggak ada acara keluar. Jalan sehat kali ini memiliki door prize yang wow. Door prize utamanya adalah 1 buah TV LED merk china – yang namanya susah disebut itu dan diawali dengan huruf “C” diakhiri dengan huruf “G” –  dan beberapa door prize yang nilainya melebihi harga tiket. Harga tiket yang dipatok oleh panitia adalah RP.10.000,-/3 tiket. Amat murah sekali kan? Selain itu ada demo masak dari salah satu perusahan toples ternama di Indonesia yang mayoritas warnanya pink dan diawali dengan huruf “T”.

Acara Jalan Sehat Pada Saat Pembagian Door Prize
Semua elemen masyarakat mengikuti acara jalan sehat dan memakai seragam yang sama *kayak panti asuhan aja, hehehe*. RT 08 memakai dress code orange dan RT 07 memakai dress code baju RT 07 yang warnanya abu – abu. Bagus sih, tapi serasa enggak kayak bersatu gitu deh. Seharusnya pengurus RW juga membuat dress code yang bisa digunakan pada saat acara – acara seperti ini *masukan aja sih*. Jalan sehatnya hanya memutari satu padukuhan saja sih. Hampir sama seperti tahun sebelum – sebelumnya *seingetku*, karena 2 tahun yang lalu aku tidak ikut. Tahun pertama aku tidak ikut karena sedang KKN dan tahun ke- dua karena lagi menjelajah negeri kangguru, hehehe. Pokoknya treknya hampir sama deh, jarang banget berubah, hehehe.

Salah Satu Sudut Dan Tempat PeWe Untuk Melepas Lelah. Kebetulan Itu Para Ibu-Ibu RT 07 Dengan Baju Abu-Abu Kebanggaan.
Sejam lebih warga berjalan kaki mengitari padukuhan yang sejatinya enggak begitu jauh dan juga enggak begitu dekat. Yang menampakkan batang hidung pertama kali di garis finish ternyata bukan anak kecil, melainkan seorang bapak yang mempunyai 3 anak. Ueedyaaannn, sangar lek!. Skip, setelah semua peserta mencapai garis finish, MC pun mengambil alih acara. Acara pembagian door prize kecil – kecilan pun dimulai. Di sela – sela pembagian door prize, banyak yang melepas penat dan makan makanan kecil. Setengah jam berlalu, pembagian door prize di hentikan dan di lanjutkan demo masak oleh salah satu perusahaan toples ternama di Indonesia. Banyak ibu – ibu yang berminat untuk melihat demo masak tersebut. Ada 1-2 bapak – bapak yang ikut melihat juga. Tanpa di duga, anak – anak antusias terhadap demo masak tersebut. Tau sendiri lah demo masak itu kayak gimana, mereka menonjolkan keunggulan produknya dan sebagai ajang promosi produk.
Makanan Ringan Berupa Arem-arem Dan Roti Untuk Para Peserta.

Acara Demo Masak.
Setelah demo masak selesai, pembagian door prize pun dilanjutkan. Saat di tengah – tengah ketegangan apakah mereka memenangkan door prize atau tidak, MC berkata bahwa door prize selanjutnya berupa burung – aku lupa namanya, tapi yang suka ikut kontes berkicau dan berwarna hijau – dan sontak bapak – bapak berteriak kegirangan. Mungkin karena harga burung tadi terbilang mahal dan katanya pernah memenangkan sebuah kontes kicauan. Wow, banyak bapak – bapak maupun remaja yang menyukai dunia per-burungan, hehehe, menampakkan ekspresi tegang mereka dan berharap – harap cemas bahwa salah satu dari mereka dapat mendapatkan burung tersebut.

Itu Tuh Burung +Sangkarnya. Keliatan Nggak?
Undian pun ditarik dan MC membacakan nomor tiket yang beruntung tersebut dengan amat pelan sekali. Tujuh belas...... enol delapan...... kosong..... lima...... *penonton pun mulai tegang* enammmm....... *muka – muka bapak – bapak pun mulai tegang berharap mendapatkan burung tersebut* delaapaaannn...... *sontak suara – suara kecewa pun pecah*. Detik – detik pun berlalu dan tak ada yang maju untuk mengambil burung tersebut. Penonton pun mulai gaduh. Di tengah kegaduhan tersebut muncullah sesosok anak perempuan dengan tangan diangkat ke atas dan memegang tiket berjalan ke MC. Sontak kegaduhan pun makin pecah.

Muka - muka Tegang. Liat Tuh, Tiketnya Udah Berbaris Rapi.

Wah, seng menang bu iki. (wah, yang menang ibu ini)”,
“Ibu e hurung nduwe manuk kae, hahaha (ibunya belum punya burung itu, hahaha). Beruntung itu ibunya”.
Yah, begitulah suara – suara yang keluar dari penonton.

Ada cerita lucu saat di tengah – tengah pembagian door prize. Pada saat itu, yang akan dibagikan adalah dua buah sarung asli khas dari Kalimantan, kalau tidak salah, dan saat MC melihat sarung tersebut, masih terdapat barcode harga di sarung tersebut. Sontak MC pun membacakan harga yang tertera di sarung tersebut. “Ini nih, harga sarungnya RP.340.000. wah, Bu RW marah ini” *FYI, yang menyumbangkan sarung tersebut adalah Pak RW*. Tak disangka yang berhak mendapatkan sarung tersebut adalah seorang takmir dan alim di lingkunganku. Seluruh penonton pun bersyukur dan serentak tanpa di komando mengucapkan hamdallah. “Alhamdulillah!”.

Acara pembagian door prize dilanjutkan kembali. Ketegangan mulai meningkat saat pengundian door prize utama. Banyak penonton yang masih memiliki tiket dan yang belum kebagian tiket berharap – harap cemas. Menggenggam tiket mereka dengan kuat. Ada juga yang mengadahkan kedua tangan ke atas meminta keberuntungan Tuhan. Saat nomor dibacakan, pecahlah seluruh kekecewaan para peserta dan hanya tiga suara kegirangan yang muncul dengan amat keras disaat suara kekecewaan. Mereka adalah pemegang nomer yang berhak mendapatkan TV LED tersebut. Yak, ketiga suara tersebut adalah satu keluarga. Setelah serah terima door prize utama, banyak warga yang langsung pulang untuk beristirahat.
Kesibukan Remaja Saat Melayani Pesanan. Abaikan yang lagi minum yak.

Sibuk!!! Dan itu tuh Menunya.
Saat di acara lomba sehat itu, para remaja perempuan berjualan makanan hasil kreasi mereka untuk mendapatkan tambahan dana. Dana tersebut digunakan untuk kas organisasi pemuda. Menu yang ditawarkan dan yang paling menarik adalah SAPI COKLAT! Hah, masak iya jualan sapi di acara kayak gini?. Yap, banyak yang keheranan membaca menu tersebut. Ternyata SAPI itu hanya singkatan dari “SAte PIsang”. Alhamdulillah, dengan jemput bola dan warga yang sangat welcome terhadap usaha para pemuda, semua menu laris manis. Dengan harga yang murah, banyak warga yang menyukai usaha mereka, tapi yah begitulah, untungnya hanya sedikit.

Penampakkan Para Calon Ibu Yang Kreatif *hemmm, mungkin enggak kreatif juga sih*.

Last but not least, itulah acara jalan sehat dari lingkungan rumahku, tapi bukan door prize yang dicari. Melainkan ke – guyuban yang ditimbulkan oleh sesama warga. Acara tersebut digunakan untuk saling mempererat hubungan silahturahmi antar warga. Selain itu, acara kemerdekaan juga sebagai cara yang ampuh untuk mengumpulkan warga dan saling bersilahturahmi. 
Akhirnya Yudisium
Sulit memang memecah kerumunan kendaraan di jalanan Kota Jogja pada saat jam sibuk. Harus memiliki kemampuan berkendara yang mengagumkan bila ingin cepat sampai ke tujuan saat jam – jam sibuk. Jalanan Kota Jogja sekarang ini sudah berubah amat sangat drastis. Saat aku masih ingusan, jalanan kota Jogja masih amat sangat lengang dan sekarang saat aku sudah brewokan, jalanan kota ini berubah menjadi kepulan asap kendaraan bermotor yang sangat pekat. Well, pagi itu aku ketiduran dan bangun pukul 09:19 WIB, padahal hari itu ada acara penting dalam hidup pada jam 10:00 WIB, yaitu yudisium. Bangun tidur dan tertegun lah aku saat melihat jam di dinding kamar yang cat sudah memudar dan sedetik kemudian ku hisap rokok lintingan dalam – dalam. Satu batang rokok habis sudah, langsung saja aku mandi seadanya dan memakai dress code acara wisuda, yaitu hitam putih dan berdasi hitam, semprot parfum sana – sini. Sempat kebingungan mencari smartphone kesayangan yang sudah butut, 15 menit kemudian ku pacu motorku menuju jalan raya yang sudah padat.

Salah Satu Kemacetan Di Jalan Solo Deket Amplaz
sumber: Google
Wisuda menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti  peresmian atau pelantikan yang dilakukan dengan upacara khidmat. Biasanya acara wisuda ini akan dihadiri oleh anggota keluarga wisudawan/i yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Orang tua wisudawan/i dengan wajah sumringah melihat anaknya telah dinyatakan resmi berhak menyandang gelar sarjana *gilakkk, udah sarjana brooo*. Bila yang di wisuda anak pertama di dalam keluarga tersebut, biasanya satu trah (keluarga besar) akan menghadiri acara wisuda tersebut atau bisa juga satu desa akan datang sehingga menyebabkan banyak mobil/bus parkir disekitaran gedung acara wisuda dan menyebabkan kemacetan di jalan *hasil dari pengamatan sekilas selama 4 tahun kuliah di UGM sih*. Yah, walaupun banyak orang tua yang tinggal jauh dari Jogja, pasti dibela-belain dateng ke acara wisuda anaknya dengan memakai baju terbaik yang mereka punya*hasil dari pengamatan sekilas*.
Berbicara mengenai masa lalu, kita pasti akan merasa senang bila masa lalu yang kita bicarakan adalah masa – masa yang indah dan sebaliknya kita akan menangis bila kita mengingat masa lalu yang menyedihkan. Masa lalu tak bisa kita buang begitu saja dari rak – rak ingatan yang ada di otak kita, masa lalu akan selalu ada di rak paling bawah ingatan kita. Akan ada saatnya dimana kita bertemu dengan kondisi yang mengharuskan kita membaca kembali masa lalu kita dan dia bisa saja seenaknya menampkan diri di rak paling atas yang membuat kita mau tak mau membacanya. Itulah masa lalu, kita tak perlu membuangnya karena dengan masa lalu kita dapat belajar dan menjadikannya acuan untuk melangkah ke depan ataupun untuk berbuat sesuatu di masa depan.

Saya memiliki milyaran masa lalu yang masih tersimpan rapi di rak paling bawah ingatan saya dan entah mengapa malam ini saya ingin menuliskan dan memunculkan lagi ingatan tentang seseorang yang pernah ada di masa lalu saya. Seorang yang wanita pastinya, yang telah memberikan cerita dan warna di kehidupan saya selama kurang lebih setahun. Wanita yang bisa dibilang pacar saya dulu (Mantan –RED) dan saya masih penasaran – hingga sekarang – dia bisa mencintai saya dan mau – maunya menjadi pacar saya, hahaha. Entah mengapa, tak ada alasan yang jelas, karena cinta tidak butuh alasan untuk mencintai kan?.
Previous PostOlder Posts Home