Secangkir Kopi Baliem Saring di Pagi Hari

Leave a Comment
Secangkir Kopi Baliem Saring di Pagi Hari

Mentari sudah berada di seperempat bagian langit. Memancarkan kehangatan bagi anak-anak adam yang akan mencari rezeki ataupun yang baru tersadar dari dekapan mimpi indah semalam. Langit pagi tak berwarna biru terang. Di ufuk timur jauh sana, warna abu-abu kehitaman menghiasi langit. Mungkin sore nanti, langit akan memeras air matanya. Memberikan berkah bagi mereka yang membumi, menjatuhkan mereka yang meninggi ataupun membawa kenangan bagi para penjaga rindu dan kenangan hingga mereka dapat tersenyum dan membuat sajak-sajak indah tentang kenangan, aku tak tahu.
Suara kalkson dan deru mesin kendaraan bermotor, membuat riuh suasana pagi. Entah darimana dan hendak kemana mereka. Tapi sepertinya mereka berusaha untuk cepat mencapai tujuan hingga tak peduli dengan apapun, kecuali dirinya sendiri. Semua memiliki kehendak masing-masing. Suara crane yang lelah mengangkat dan memindahkan kayu, pipa dan besi-besi berat kesana – kemari. Suara tanah yang tercangkul, suara tiang-tiang penyangga yang memaksa masuk ke tanah, suara tumbukan besi-besi berat yang menyatukan tiang-tiang penyangga, suara orang-orang yang lelah menyatukan besi-besi berat itu agar tercipta bangunan megah yang menjulang tinggi untuk tempat orang borjuis bercengkrama bersama mimpi dan berharap sore nanti mereka membawa lembaran – lembaran  kertas bergambar tokoh nasional agar menyambung hidup dan suara orang yang mengais rupiah dalam setumpukkan sampah. Semua itu menciptakan suatu melodi yang sedikit kacau dan terkesan terburu-buru di pagi hari ini. Mungkin, langit tak ingin mendengarkan melodi ini.
Warung kopi yang terletak di pinggir perempatan itu masih sepi dan lenggang. Melodi pagi ini dapat terdengar jelas di warung kopi ini. Mungkin karena kita mengenal kopi dari malam. Kopi yang memberikan kenangan, penyesalan, persahabatan, inspirasi dan mungkin juga rindu. Padahal pagi pun dapat menyeduhkan secangkir kopi. Kopi yang dapat memberikan harapan dan semangat untuk menghadapi kerasnya dunia beberapa jam lagi. Di warung kopi itu, seorang peracik kopi sedang menyeduh kopi sembari menahan kantuk. Mimik mukanya terlihat serius dan berusaha memberikan nyawa pada bubuk kopi yang sedang ia seduh. Mungkin juga memberikan semangat dan harapan pada orang yang memesan kopi itu, bila ia mengetahuinya apa yang tertera di wajah orang yang memesan kopi itu.

Hanya ada orang itu saja di warung kopi itu dan mungkin dialah pelanggan pertama di hari ini. Di wajahnya terdapat beribu – ribu serpihan topeng dari beragam topeng yang selama ini ia kenakan. Ia sudah tak memakai apapun di tubuhnya. Mungkin ia telah berusaha telanjang di hadapan dunia agar ia diterima dan dapat bergandengan tangan dengan dunia. Namun apadaya, dunia justru tak memandangnya dan berkhianat kepadanya. Keputus – asaan menyelimuti tubuhnya. Sepertinya ia ingin lepas dari dekapan malam.
Pagi ini, di warung kopi di pinggir perempatan itu, aku memesan secangkir kopi baliem yang disaring. Alunan melodi pagi yang terkesan terburu – buru dapat aku dengar dengan jelas. Tak ada percakapan antara aku dan sang peracik kopi. Kulihat senyumanmu di langit yang tak biru itu. Kupalingkan muka dari langit dan aku menatap jauh ke timur sana. Melihat orang-orang yang tergesa-gesa. Samar – samar, aku melihat bayangan kita di seberang jalan dan tiba-tiba  saja semua menjadi jelas. Di seberang jalan sana, aku melihat sebuah drama dimana kitalah sang pemeran utamanya. Tapi tunggu, mungkin itu bukan drama tentang kita dan mungkin bukan kitalah sang pemeran utamnya. Ternyata itu tentang aku, sang pemeran utamanya, yang berusaha untuk mendapatkan pelukan penuh kasih sayangmu hingga aku melepaskan seluruh topeng yang aku kenakan dan telanjang di depanmu. Namun semua itu sia-sia, karena kau bahkan tak melirikku yang sudah sangat lelah mengejarmu. Tiba-tiba sang peracik kopi mengalihkan pandanganku dari drama yang berakhir menyedihkan itu dengan secangkir kopi pesananku.
Aroma kopi itu kuhirup dalam – dalam dan sekejap anganku di bawa ke dalam perkebunan sayur – mayur  yang dikelilingi hutan lebat di pedalaman pula paling timur negri ini. pemandangan perkebunan sayur – mayur  di pagi hari. kabut masih sedikit menyelimuti perkebunan. Menimbulkan aroma sayur – mayur yang basah yang selalu diberi cinta oleh petani. Embun masih terlalu enggan untuk pergi dari atas sayur – mayur. Di ujung sana terlihat asap mengepul dari honai dan di ufuk timur, sang mentari masih malu – malu memberikan sinarnya. Terlihat beberapa petani keluar dari Hanoi, membawa sekeranjang cinta untuk sesuatu yang mereka tanam dengan harapan asap dapur mereka dapat terus mengepul. Sungguh suatu pemandangan yang untuk sesaat dapat melupakan senyumanmu di hatiku. Aku berjalan masuk ke dalam perkebunan untuk menikmati pemadangan indah yang alam ini berikan. Di tengah perkebunan, aku melihat petani kurus kering yang tetap berusaha merawat sayur – mayur ini dengan sepenuh hati. Kakiku terus melangkah hingga aku tiba di mulut hutan. Gelap dan takut. Aku tak berani masuk, namun kaki ini tetap memaksa masuk. Dengan hati yang bimbang dan takut aku masuk kedalam kegelapan hutan. Menyusuri hutan hingga aku menemukan sebuah pohon yang mempunyai bunga yang mengelurakan aroma manis. Aku ingin memetik bunga itu, tapi tiba-tiba ada kamu di sampingku dengan senyuman indahmu. Aku tersadar kembali.
Dengan sekejap kuambil sendok yang disediakan si peracik kopi itu. Kuambil sesendok kopiku dan kuseruput. Tiba-tiba aku dapat merasakan kesegaran dan pahitnya sayur – mayur yang kulihat tadi. Lidahku mencari-cari aroma bunga di hutan yang tadi aku lihat, tapi aku tak dapat merasakan. Mungkin kopi ini masih panas. Aku masih melihat drama di seberang jalan itu. Ku ambil selembar kertas dan pulpen dari dalam tasku dan melarikan diri ke dalam tinta yang kububuhkan di kertas. Selembar kertas sudah penuh dengan kata – kata dan coretan. Warung kopi ini mulai ramai. Ternyata sudah ada 4 orang pelanggan dan si peracik kopi mulai sibuk menyeduh kopi pesanan mereka. Kulihat wajah si peracik kopi, terlihat jelas di wajahnya bahwa si peracik kopi sedang menahan lapar. Kembali aku meminum kopiku, aku masih dapat merasakan rasa sayur – mayur itu dan ah, ternyata  inikah rasamu, wahai bunga di tengah hutan. Asam yang kemudian disusul dengan rasa manis yang lama. Ternyata rasamu itu disini. Ku kecup bunga itu dan kuhisap dalam – dalam. Rasa itu berangsur – angsur hilang dan dengan hilangnya rasa manis, cepat – cepat aku ambil selembar kertas lagi dan membubuhkan coretan di kertas, agar aku tak melihatmu lagi. Sekarang, secara bergantian aku menikmati rasa asam dan manis dari kopi dan tanganku masih terus saja mencoret – coret kertas. Ya, aku ingin cepat – cepat membawamu, tersimpan di dalam tulisanku dan secangkir kopi baliem ini.
Mentari sudah hampir mencapai puncaknya. Kehangatan yang tadi aku rasakan sudah berubah menjadi panas terik yang menyengat kulit. Warung kopi di perempatan ini sudah mulai dengan obrolan orang-orang yang selalu mencari kebenaran akan tindakannya, mencari beribu – ribu kesalahan dan juga saling bertukar informasi. Kopiku juga sudah mendekati titik penghabisan. Mungkin masih bisa untuk berenang, pikirku. Ku tegak habis kopiku dan mulai kumasukkan kembali kertas – kertas yang penuh coretan ke dalam tas. Aku mulai memenuhi kewajibanku dengan menyerahkan selembar kertas bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II yang memasang mimik muka gahar dan terlihat tegas.
Tak kulihat lagi senyumanmu di langit yang mulai berwarna biru dan drama menyedihkan di seberang jalan itu. Sosokmu sudah tersimpan rapat dalam coretan – coretan yang sudah ku buat. Si peracik kopi tersenyum namun masih dapat kulihat ia menahan kantuk dan lapar. Si peracik mulai menuliskan “baliem saring” dan harganya di sebuah nota yang kecil. Nota yang di bagian atas terdapat nama warung kopi ini, hari dan nomer keberapa nota ini. aku tahu, akulah pelanggan pertama di hari ini.
Akupun melangkah keluar. Secercah harapan dan semangat sudah menyelimutiku. Harapan agar engkau dapat melirikku dan semangat untuk membuatmu selalu bahagia berada di sampingku agar aku dapat melihat senyumanmu yang indah itu.

Pagi hari, Buun Koeffie Jogja
16 Februari 2015


Cipta
Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments: