Pelari Sepi

Leave a Comment
Source: ig @kanamedia_
Pada sebuah senja dari ratusan senja yang telah kulalui di kota ini, aku menemukan sebuah kafe kecil di seberang Sungai Cisadane, berjarak kurang lebih 2 km dari pusat kota. Tanpa adanya shop sign yang menunjukkan keberadaannya. Dua buah meja dengan masing-masing memiliki kursi kayu panjang dan 2 buah kursi kayu yang diletakkan di kiri kanan pintu masuk. Terdapat tulisan “push” dipintu masuk yang terbuat dari kaca. Kudorong pintu bersama dengan kesepian yang menggelayut di dalam dada. Disambut dengan senyuman ramah pemiliknya, sepasang suami istri muda, dan wajah yang bergairah karena ini kafe pertama mereka. Kubalas senyuman mereka ala kadarnya. Seperti orang yang berada di tempat yang baru, ku melihat sekeliling ruangan. Dinding yang masih dalam tahap di plester dengan warna khas beton dan hitam dibagian belakang kafe, beberapa lampu berwarna kuning yang diletakkan di langit-langit, membuat kafe ini nyaman untuk kekasih yang ingin memadu kasih. Beberapa balok kayu sungkai dipasang rapi di langit-langit dengan latar berwarna hitam. Tiga set meja kursi tertata rapi dengan sebuah pot tanaman mainan kecil sebagai pemanis diletakkan ditengah-tengah meja. Saat mata ini menuju ke bar untuk memilih biji-biji kopi yang akan kuminum, mata ini berhenti seperkian detik pada sosok bidadari yang sedang duduk manis di depan bar. Bercanda dengan pasangan suami istri yang sedang sibuk mempersiapkan beberapa peralatan. Kucuri pandang saat sedang memilih biji-biji kopi, mungkin 5 menit kuhabiskan hanya untuk memutuskan kopi apa yang akan kuminum.

Bisikan angin laut yang kering. Mentari yang perlahan – lahan pulang ke peraduannya. Masih memancarkan sisa – sisa egonya, menambah panas para penerima. Warna lembayung sebagai latar, guratan kuas sang pencipta, menciptakan siluet awan di ufuk timur, menentramkan hati. Pantulan sinar mentari di Sungai Cisadane, titik – titik cahaya bermunculan, perpaduan warna lembayung dan coklat-nya Sungai Cisadane. Kepakan sayap dan cuitan burung pipit yang hendak kembali ke sarang ditimpa deru mesin kendaraan bermotor yang telah mulai lelah, setelah seharian mengaspali jalanan kota ini. Suara klakson yang saling sahut menyahut, menandakan sang pengendara ingin segera mencapai tujuannya, entah segera ke rumah untuk bertemu keluarga dan beristirahat atau segera bergumul dengan kekasih gelap untuk meluapkan cinta, rindu dan nafsu yang lama terpendam.

Bau karbon monoksida hasil pembakaran mesin kendaraan bermotor menyeruak dan bersatu dengan wangi asap rokok yang baru dua menit lalu ku sulut. Rasa smoky, gurih dan pedas dalam setiap hisapannya menggelitik lidah. Membiarkan jutaan zat kimia adiktif masuk ke dalam tubuh. Memberikan jalan bagi nikotin dan tar berjalan leluasa melewati arteri. Mengahantarkan implus nikotin ke serebelum untuk selanjutnya menyebar bebas di serebum. Membuat tubuh ini melayang.

Aku masih memandang keluar, membiarkan ke-lima inderaku bebas menggauli senja. Tetiba harum yang menentramkan menyeruak masuk ke dalam lubang hidung. Harum hasil ekstraksi serbuk biji kopi yang kasar dengan air bersuhu kurang lebih 85˚C  dan diseduh kurang lebih 3 menit. Menggantikan wangi asap yang makin lama makin membuat jengah. Wangi bunga, buah tropis dan asam yang menggelitik lubang hidung, meminta untuk segera menyeruputnya. Segelas seduhan kopi yang berwarna merah bata dengan volume 225 ml dan ditampung pada sebuah gelas keramik berwana hijau muda dengan garis – garis putih tak beraturan sudah berada di depanku. Diantar oleh seorang barista sembari tersenyum. Senyum basa – basi. 


Sebentar, kau masih sangat panas, kopi. Melepuh nantinya lidahku. Lagian, aku masih ingin menikmati harummu. Semenit lagi, keinginanmu dan dahaga ku akan kecupan indahmu akan terlaksana. Ahh, kau kan. Sudah kukatakan untuk bersabar. Melepuh lidahku. Hanya asam, bunga yang malu – malu dan sedikit pahit yang kurasakan.

Lampu – lampu jalan mulai bersinar terang. Menerangi jalan yang tak terlalu gelap. Lampu – lampu kendaraan yang mulai bekerja. Membantu agar tak masuk kedalam lubang – lubang yang ada di jalan. Lampu penunjuk jalan di sebelah kanan sana yang mulai menyala terang, seperti tak lelah untuk mengganti warnanya, dari hijau, kuning dan berakhir di warna merah lalu kembali lagi ke warna awal. Di ufuk timur sana, mentari tinggal sejengkal. Bintang dan bulan masih malu – malu menampakkan diri. Disebelah utara jauh, tampak kilatan petir yang saling sahut – menyahut. Seakan para penghuni langit sedang berpesta kembang api untuk merayakan datangnya Bulan Ramadhan. Kumandang adzan maghrib yang keluar dari pengeras suara masjid yang berada di segala penjuru, menciptkan alunan melodi indah. Melodi yang membuat rindu saat berada di sebuah negara di sebelah selatan Samudra Hindia. Suara yang menyuruh kita untuk segera bersujud di hadapan sang pencipta. Penanda untuk bersiap – siap menyiapkan segalanya untuk sholat tarawih yang panjang. Malam pertama di Bulan Ramadhan.

Lampu di kafe mulai menampakkan keindahannya. Dua buah pendingin ruangan yang sedari tadi berusaha untuk menyejukkan penguhuninya. Mengahalau serangan panas dan kering dari luar. Pandanganku tertuju pada sosok bidadari yang sudah berpindah ke salah satu meja di dalam kafe. Khusyuk menghadap ke sebuah laptop berlogo apel yang sedikit termakan di ujung kanan atas. Entah dimakan sang pembuat atau segerombolan ulat kelaparan, aku tak tahu. Pancaran sinar layar laptop menerpa wajah khasmu. Wajah yang sebagian besar wajah ibumu. Kau amat anggun di mataku. 

Dengan jilbab bermodel sederhana dengan sedikit ornamen bunga di setiap ujungnya dan berwarna gelap, mungkin biru tua, aku tak terlalu mengerti downgrade warna karena aku buta warna sebagian. kau memakai blouse berwarna biru tua yang dipadukan dengan cardigan berwanrna hitam. Celana kain berwarna hitam yang sedikit kombor dibagian bawah. Membuatmu enak untuk selalu dipandang. Tetiba ada yang membuatku mengernyitkan dahi, sepatu yang kau gunakan. Sepatu Vans berwarna hitam, entah jenis apa, old skool mungkin. Kau menarik.

Sesekali kau tersenyum, senyum yang menambah ayu parasmu. Senyum yang menyimpan ratusan kepedihan. Kerutan di mata dan di ujung bibir yang tercipta saat kau tersenyum, menandakan usia sudah memakanmu. Seperempat abad lebih mungkin. Bibir, dagu dan hidung yang mirip sekali dengan ibumu, masih khas orang Indonesia. Matamu yang indah berpadu dengan eye liner dan eye shadow yang pas, dari segi proporsi serta warnanya. Namun aku melihat kekosongan didalam matamu. Hanya ada setitik cahaya yang menyala. Tatapanmu yang mengintimidasi dan mengintrogasi. Beberapa kali kau tersenyum, bukan senyum pertama yang kulihat. Namun, senyum yang meremahkan atas apa yang kau lihat dan kau dengar. Mungkin itulah senyum aslimu. Lama matamu terpaku di layar laptop. Kau sedang fokus. Sesekali pandanganmu melihat keluar. Entah untuk berfikir, mencari ide ataupun hanya menikmati pemandangan diluar sini. Untung mata kita tak saling bertemu.

Dewasa, mandiri, keras, to the point dan cuek. Itulah yang kulihat dari sikap dan gerak – gerikmu. Sedang berusaha untuk menjadi lebih baik. Meninggalkan bayangan hitam besar dibelakangmu yang masih saja suka mencuri peluk. Gerakanmu yang cepat dan pasti namun masih saja anggun. Wanita mahal.

Jumpa pertama, ku terpesona menatap wajahmu. Kita saling menyapa dan kau tersenyum. Ku balas dengan senyum yang dipaksakan. Akan kutuliskan namamu dengan tinta paling indah di dinding hati terdalam. Kan kuliskan indahnya cinta yang bergejolak di dalam dada. Akan kusebutkan namamu dalam setiap pengharapanku kepada sang pencipta.

Langit telah berubah menjadi gelap. Kopi didepanku sudah mulai dingin. Ku seruput dengan penuh penghayatan. Rasa asam, manis buah tropis, nangka mungkin, bunga yang mulai menampakkan keindahannya dan pahit muncul dengan harmonis dan bersatu menciptakan kepuasan dalam setiap kecupan di lidah. Kafe mulai ramai dengan pengunjung. Aku masih duduk dipojok luar kafe. Kupasang headphone kesayangan ditelinga. Meredam suara – suara dari luar. Lantunan surat yang dibacakan dengan indah oleh sang imam. Alunan musik dan suara Halsey yang menyanyikan lagu “New Americana” memenuhi telinga. Aku mulai menenggelamkan diri pada sedikit kesibukan dan selebihnya berbagi rasa dengan kesepian yang duduk disebelahku dan seenaknya memeluk dan menyandarkan kepalanya dengan mesra.

Sekali lagi ku melihat ayu parasmu, yang sekarang sedang berbincang dengan pemilik kafe. Masih dengan laptop yang menyala. Sesekali tertawa, sesekali menampkkan raut muka serius. Dua menit aku melihatmu. Pikiranku akan dirimu terbang ke tempat yang jauh. Berimajinasi. Berdua denganmu, memelukmu, menari dalam hujan, tertawa, saling berbagi cerita, saling menerima, saling memberi, menyanyangimu, membuatmu merasa aman, mencintaimu, membangun sebuah kapal untuk mengarungi lautan kehidupan dan menghabiskan sisa hidupku berdua denganmu. Sebuah tulisan dari Friedrich Nietzsche dalam buku yang berjudul “Thus Spoken Zarathustra” menyeruak muncul dalam ingatan.

Kurasakan engkau dekat, kucintai engkau dari jauh.
Larimu menggodaku.
Pencarianmu membuatku merasa aman.
Aku menderita, tapi demi engkau apa yang tak akan kutanggung?
Demi engkau,
Yang dinginnya membakar,
Yang bencinya menggoda,
Yang terbangnya membelenggu,
Yang cemoohnya…. Memohon.

Aku menyukaimu.

Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments: