Malam
datang. Bulan bersinar terang. Cahayanya malu – malu menembus polusi
yang sudah terlalu menumpuk di kota ini. Kedipan bintang tak tampak. Malam telah
meninggi. Menyelimuti mimpi – mimpi indah para pemimpi. Mengantarkan doa – doa para
pendoa ke langit. Membawa harapan para pendoa. Mendengar cerita sendu tentang
rindu dan tangis hati yang telah retak bagi siapapun yang menangis malam ini.
Malam mulai meninggi. Kegelapan datang. Semerbak
seduhan aroma bunga camomile memenuhi
indera pembau ini. Memberikan kenyamanan dan ketenangan bagi hati dan pikiran
yang telah lelah ini. Selain kalimat “Laa
Hawla wa Laa Quawwata illa Billah” yang tak henti – hentinya keluar dari
mulut ini. Lagu “Honest” dari
Kodaline melantun sendu keluar dari headphone
membuat suasana ruangan 4 x 5 meter ini menjadi begitu pilu. Mata ini terpejam,
menikmati suasana yang tercipta.
Dalam kegelapan, Tangan besar itu perlahan – lahan turun dari langit. Melambai – lambai. Seakan mengatakan “Kemarilah”. Tanpa komando, kaki ini melangkah secepatnya menuju Tangan yang turun tersebut. Tangan itu mengeluarkan sesuatu yang sepertinya tak asing lagi dan memberikannya. Pikiran ini menyelam kedalam lautan ingatan. Mencari ingatan akan sesuatu yang hendak diberikan Tangan itu. Belum selesai pikiran ini mencari, tangan ini menerima pemberian Tangan besar itu. “Oh, jangan kau terima sesuatu itu!”, teriak pikiran yang telah menemukan ingatan akan sesuatu yang tak asing lagi itu. Tapi apadaya, Tangan itu telah menghilang ditelan kegelapan. “Ah, sepertinya kegembiraan telah datang”, gumam hati yang bangun dari tidurnya yang lama. Seketika itu juga, kegelapan perlahan – lahan hilang. Berganti menjadi cahaya yang indah. “Aku akan datang kembali!”, teriak kegelapan dalam ketiadaan.
Malam sedikit meninggi. Sunyi mulai datang. “Laa Hawla wa Laa Quawwata illa Billah”
masih saja keluar dari mulut ini. Semerbak aroma seduhan bunga camomile masih memenuhi ruangan ini. Senandung
“Honest” dari Kodaline telah berganti
menjadi “High Hopes”. Masih dari band yang sama. Mata ini terpejam.
Cahaya yang indah itu semakin hari menjadi
indah. Sesuatu yang asing itu kini telah menguasai pikiran. Meluluhkan
penolakan keras dari pikiran. “Entah kenapa, kau semakin indah”, kata pikiran. Hati
menari dan tertawa gembira bersama sesuatu yang tak asing itu. Pikiran dan hati
bersatu padu ingin memeluk dan tak akan melepaskan sesuatu yang tak asing itu. Seakan
sesuatu itu merupakan milik mereka yang telah dijanjikan oleh Tangan besar. “Hai,
aku kembali lagi!”, teriak kegelapan dari kejauhan. Tiba- tiba Tangan besar itu
datang. Hendak merebut sesuatu yang tak asing itu. Hati dan pikiran kukuh
mempertahankan sesuatu yang tak asing itu. Tapi apa daya, Tangan lebih kuat
dari hati dan pikiran. Dengan seenaknya, Tangan itu mengambil sesuatu yang tak
asing dari dekapan hati dan pikiran. “Ini bukan milikmu dan kau tak berhak
bersamanya”, kata Tangan. Kegelapan mulai datang, cahaya mulai menghilang
bersamaan dengan menghilangnya Tangan Besar itu. “Hai, apakah ada yang mau
kalian ceritakan?”, tanya kegelapan. Hati menangis. Pikiran tertunduk lesu. “Banyak”,
sahut mereka bersamaan.
Malam sudah meninggi. Sunyi dan gelap. Aroma
seduhan bunga camomile telah hilang,
tapi efeknya perlahan – lahan sedikit menenangkan hati yang terus saja merajuk
dan menangis. Setelah beberapa lama, hati tertidur untuk waktu yang lama. Entah
kapan terbangun kembali. Lagu “High Hopes”
telah berganti menjadi “All I Want”
masih dari Kodaline. Malam ini hanya tiga lagu tersebut yang selalu melantun
sendu keluar dari headphone. “Laa Hawla wa Laa Quawwata illa Billah” perlahan
– lahan menghilang dari ucapan. Berubah menjadi beribu pertanyaan yang
mempertanyakan kebijakan-Mu. Mata ini terpejam, ingin sekali bertemu.
“Lalu
apa gunanya aku berusaha keras untuk mengubah nasibku. Mendapatkan apa yang aku
inginkan bila ternyata aku tak berdaya atas apa yang sudah Kau tulisankan suatu
kisah dengan tinta-Mu jauh sebelum aku lahir di dunia ini?”
“aku
jatuh dilubang yang sama. Kau tahu itu? Apa yang Kau inginkan? Belajar dari
kesalahan sebelumnya dan memperjuangkan wanita itu?”
“Aih,
apalah aku ini. Hanya sebuah butiran debu yang tak berdaya di hadapan-Mu.
Percuma aku berjuang kalaupun ternyata ini sudah dituliskan. Kau pun tahu kan?”
Masih banyak pertanyaanku. Mungkin tak akan
langsung Engkau jawab. Mungkin aku akan menunggu datang hingga fajar menyising.
Atau, aku akan menunggu hingga 30 kali fajar datang atau mungkin aku harus
menunggu hingga ratusan fajar datang untuk mendapatkan jawaban dari Engkau. Ya!
Mungkin aku hanya bisa menunggu. Maafkanlah aku yang telah lancang
mempertanyakan skenario-Mu dan berilah aku tanda – tanda apa yang harus
kuperbuat di dalam hidupku. Aku akan menunggu.......
Dan yah....
“Semoga
senyum selalu terkembang di wajahmu. Semoga kau bahagia, wahai wanita yang
telah sudi membubuhkan tintamu dalam kertasku yang masih kotor ini. Semoga kau
selalu bahagia.”
“Laa Hawla
wa Laa Quawwata illa Billah” mulai terucap kembali......
Tangerang, 07 Agustus 2017
Cipta Swastika
0 comments:
Post a Comment