Lanud, Sepeda Tua, Dan Polisi Militer

Leave a Comment
Siang itu, matahari menyengat dengan semangat-semangatnya, membakar kulit kami yang coklat. Berawal dari keinginan seorang pemuda yang ingin melihat keindahan landas pacu Lanud Adi Sucipto, kisah perjalanan kami dimulai. Kami memulai perjalanan ini dengan bermodalkan semangat dan sepeda tua yang kami miliki. Tak ada persiapan khusus, hanya mengecek sepeda kami. Maklumlah, sepeda yang kami miliki adalah sepeda onthel tua yang memerlukan perawatan terus-menerus. Perjalanan ini diwarnai oleh lima pemuda, yaitu Cipta, Irsyad, Tembong, Tito, dan Aga. Dikarenakan Tembong yang belum mempunyai sepeda, maka Tembong membonceng Irsyad dan mereka berdua bersepeda dengan sistem bergantian yang mengayuhnya. Dengan semangat 45 kami mengayuh sepeda kami ke arah utara. Awalnya kami melewati Jalan Yogya-Wonosari yang halus dan mulus. Banyak sekali kendaraan yang lewat hari ini, seakan taka ada tempat untuk kami lalui. Dikarenakan tujuan yang berada di arah utara, kami menyebrang jalan tersebut menuju jalan desa. Kami pun melalui jalan desa yang sudah beraspal menuju arah utara. Terus kami kayuh sepeda kami ke arah utara, melewati jalan-jalan desa tentunya, hingga kami harus berpisah dengan jalan beraspal dan disambut dengan jalan tanah yang berdebu dan berbatu. Sesekali, Irsyad harus turun untuk mendorong sepedanya karena jalan yang menanjak, berbatu, dan tidak mulus. Pemandangan di jalan ini sungguh menyegarkan, karena di kiri dan kanan kami terbentang sawah dan kebun yang sungguh indah, kami melewati bumi perkemahan, namun tetap saja kami diserang panasnya matahari.
Jalan yang kami tempuh ini berakhir di sebuah kawasan perumahan TNI Angkatan Udara. Mau tak mau kami mengayuh sepeda kami melewati perumahan tersebut dan menuju ke arah utara.dengan riang dan semangat kami bersepda, perjalanan pun diselingi gelak tawa karena kekonyolan-kekonyolan yang kami lakukan hingga akhirnya kami berhenti di Museum Dirgantara yang berada di utara perumahan tersebut. Di museum tersebut kami beristirahat sejenak untuk melepas lelah sembari melihat kegagahan pesawat zaman dahulu yang ‘terparkir’ di museum tersebut. Karena kurang persiapan yang matang dan sudah menjadi kebiasaan kami untuk bersepeda secara spontan, kami tidak membawa air minum. Jadilah kami kehausan dan mata kami memandang ke segala arah untuk mencari toko. Kesialan sepertinya menghampiri kami, karena tidak ada satu pun toko di museum ini, kalaupun ada, kami tidak berani membeli air minum karena uang yang kami bawa hanya paling besar Rp 5000,- dan akhirnya kami urungkan niat kami untuk minum walau tenggorokan ini kering dan berteriak untuk dibasahi.
irsyad yang harus rela turun dan berlari

jalanan yang kami lewati

            Museum Dirgantara adalah salah satu tempat wisata yang sering dikunjungi di Yogyakarta. Kebanyakan pengunjungnya adalah rombongan anak-anak kecil, dari usia TK hingga SD bersama para guru, namun tak jarang ada pula keluarga yang mengahabiskan waktu liburan di museum ini sembari mengenang perjuangan dan melihat keindahan pesawat tempur disini. Di museum ini, terdapat beberapa pesawat perang yang digunakan untuk perang mempertahankan kedaulatan NKRI. Tak ada satu pun yang kurang dari pesawat ini, mulai dari lambang TNI AU hingga senapan-senapan yang ada di badan pesawat masih dapat kita lihat. Di museum ini, bisa juga masuk dan melihat suasana di dalam pesawat perang tersebut dan entah mengapa kami tak berani untuk masuk, hanya melihat dari luar kegagahan pesawat perang tersebut dari dekat dan tentunya berfoto ria. Puas berfoto, kami duduk di rerumputan dan di bawah naungan pohon sembari melepas lelah dan bersendau gurau. Tiga puluh menit sudah kami beristirahat, saatnya kami melanjutkan perjalanan kami meuju Lanud Adi Sucipto. Sepeda kami arahkan ke arah timur, karena Lanud Adi Sucipto berada di sebelah timur Museum Dirgantara.
beristirahat sejenak

gagahnya pesawat perang zaman dahulu

berfoto ria

narsis dulu

            Terdapat perasaan takut di hati Tembong karena melihat palang dilarang masuk di jalan yang kami lalui. Sejenak kami berhenti, berdiskusi apakah akan melanjutkan perjalanan atau pulang dan akahirnya kami putuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan hati yang diselimuti rasa takut. Jalan yang kami lalui sungguh sepi dan beraspal, di kanan kami terdapat tanah yang tak terawatt, namun kami melihat ada seorang warga di kebun tersebut, mungkin untuk mencari rumput atau menggarap lahan tersebut. Di kiri kami, terdapat bangunan TNI AU. Jalan mulai menurun. Karena kondisi jalan yang sepi, Tito dan Aga mulai balapan. Setelah melalui turunan, kami melewati jembatan dan pada saat itu ada sebuah pesawat yang hendak landing. Sebuah pemandangan yang indah bila dilihat dari jalan ini. jalanan mulai menanjak, kami mulai mengerahkan tenaga untuk melaluinya. Karena Tito dan Aga yang tadi balapan, mereka sudah berada di atas tanjakan. Sampai diatas tanjakan, kami disuguhi sebuah bangunan gagah berwarna biru langit yang berada di depan jauh kami. Di atas tanjakan ini kami berhenti karena melihat sebuah peswat latih yang hendak take-off. Kamipun langsung memarkir sepeda kami dibahu  jalan dan langsung berlari mendekati pagar untuk melihat dari dekat pesawat tersebut dan berharap ada pesawat yang landing atau take-off.
            Lanud Adi Sucipto atau yang lebih dikenal Bandara Adi Sucipto adalah sebuah kawasan landas pacu. Kami sendiri bingung, kawasan ini adalah Bnadara atau Pnagkalah militer, keran landas pacu ini digunakan untuk mendarat pesawat-pesawat komersial dan pesawat militer. Di utara landas pacu ini terdapat Bandara Udara Adi Sucipto yang masyarakat boleh masuk dan selatan landas pacu berdiri pangkalan militer TNI AU yang masyarakat tidak boleh masuk, hanya orang-orang tertentu yang boleh masuk. Kawasan landas pacu ini berada di daerah Berbah, Sleman, Yogyakarta. Seperti landasan pacu lainnya, landas pacu ini dikelilingi tanah lapang yang luas. Terdapat jalan yang memutari landas pacu ini, dan jalan yang kami lalui adalah jalan tersebut. Tujuan kami adalah bersepeda melalui jalan tersebut ke arah timur sembari melihat pemandangan landas pacu.
pesawat hendak landing
            Sebenarnya, jalan yang kami lalui adalah jalan untuk ke pangkalan militer dan orang-orang yang tidak berkepentingan di larang lewat. Beberapa menit saja kami mengagumi keindahan pesawat latih dan landas pacu, dari arah timur datanglah orang yang berseragam biru langit lengkap dengan atributnya dan memakai helm putih yang dibelakang helm yang dikenakan tertulis ‘PM’ datang dengan sepeda motor dan berhenti di tempat kami melihat pesawat latih. Dengan suara berat dan agak meninggi, orang tersebut bertanya kami darimana dan sedang apa disini. Irsyad yang kebetulan di dekat TNI tadi menjawab dengan gugup dan bingung, bahwa kami berasal dari Maguwo, daerah yang berada di sebelah selatan landas pacu. Tanpa tedeng aling-aling, dengan suara berat dan membentak, TNI tersebut memberikan sebuah hukuman, yaitu kami disuruh mengayuh sepeda kami ke arah museum dengan waktu 15 detik!. Bisa anda bayangkan bagaimana beratnya hukuman yang kami terima karena medan yang akan kami lalui adalah jalanan yang menurun dan menanjak dengan jarak sekitar 1 kilometer. Dengan sisa tenaga yang kami punyai dan perasaan takut tentunya, kami mengayuh sepeda kami secepat kilat. Anehnya, Irsyad dan Tembong yang boncengan, awalnya paling belakang bisa langsung berada di paling depan. Karena cepatnya kayuhan kami, serasa rantai sepeda kami putus dan dengan tenaga yang kami punyai, akhirnya kami mencapai museum tersebut. Entah, butuh berapa lama kami mencapai museum tersebut, mungkin sekitar 20 detik, karena TNI tersebut mengikuti di belakang kami dengan sepeda motornya sambil berteriak menghitung. Setelah sampai museum, entah mengapa kami masih saja bersepeda dengan cepat dan TNI tersebut menghampiri kami dan memperingati kami jangan masuk lagi. Tito melihat TNI tersebut tertawa setelah melewati kami.
jalanan yang kami lalui

jembatan

            Dengan sisa tenaga yang kami punya, rasa haus yang melanda kembali, dan kaki yang hampir lepas kami pun pulang. Di perjalanan, kami menertawai kekonyolan tersebut, dan bercerita kejadian-kejadian apa yang sudah kami lalui di hukuman tersebut. Keluar dari perumahan TNI AU, kami mencari burjo untuk membeli minum dan beristirahat. Akhirnya kami mendapatkan sebuah burjo dan memesan es teh untuk membasahi tenggorakan ini. kami duduk di sebelah burjo yang ada pohon dan tertutup dari seranganan panasnya matahari.
Disini kami membuktikan bahwa sepeda tua atau sepeda onthel masih paling gagah, kuat, tangguh, dan cepat. Sbenarnya bila hendak dilanjutkan, kami akan mendapati sebuah pemandangan yang indah dan menentramkan pikiran. Kami akan dapat melihat bagaimana keindahan pesawat yang landing atau take-off dengan posisi yang berbeda dari yang ada kerana nantinya di sebelah timur akan terlihat kegagahan pegunungan. Di perjalanan inilah kami mendapatkan hukuman ala TNI dan hikmah janganlah melanggar sebuah hukuman.

Sampai dirumah, kami langsung merebahkan diri dan masih menertawai kejadian tersebut dan itu adalah sebuah pengalaman perjalanan bersepeda yang mendebarkan, menakutkan, mengesalkan, sekaligus indah yang pernah kami lalui.





Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

0 comments: