Halo
sobat. Apa kabar? Baik-baik aja kan? Masih mau baca tulisan di blogku gak ni? Hehehe. Saya hanya ingin
menceritakan apa yang saya alami hari ini. Bacalah kalau ada waktu sempat *enggakkk adaaa, Ndut*.
Walau
kantuk mulai merambati, saya tetap berusaha membuat tulisan ini. Jadi maaf
sajalah kalau agak jelek *emangnya pernah
nulis tulisan bagus?*, sedikit dan tak terarah.
Untuk
Nadia
Wanita
yang lagi galau tingkat tinggi dan akut. Semoga terhibur membaca tulisan ini. Terima
kasih. Cepat move up ya J
Jadi
gini, ceritanya hari ini, saya diajak
temen saya yang lagi galau tingkat tinggi, Nadia, pergi ke suatu tempat yang
katanya tak boleh ada yang tahu setelah mengerjakan General Test secara berjama’ah. Pikiran saya melayang jauh ke
tempat antah berantah dan sebuah imajinasi jelek merambati otak saya *emang situ punya otak?*. berkatalah
otak saya bahwa saya akan dimakan Nadia!. Oh, tidak!. Keringat dingin mulai
menjalari tubuh saya dan membayangkan tubuh saya dimutilasi dan tangan saya
dimakan Nadia. Oke, saya tahu itu lebay
dan garing #okesip.
Nah, setelah saya dan teman-teman
saya mengerjakan General Test secara
berjama’ah dengan bantuan Guru Besar Robbi, pukul 16.00 WIB saya dan Nadia
berangkat ke tempat yang akan dituju. Karena langit sore terlihat gelap dan
hujan turun secara tidak konsisten, kadang hujan kadang terang, kami ragu-ragu
untuk berangkat. Namun karena keinginan sang wanita galau yang kuat, akhirnya
kami berangkat menembus hujan. Yeah,
hujan-hujanan!. Selama di perjalanan saya memikirkan kejadian terburuk!. Dimakan!.
Salip kanan salip kiri, pelan cepat, berhenti jalan (Jogja sekarang udah macet,
Bro.) kamipun sampai di TKP. Saya lupa
namanya, kalau tidak salah “Yayasan Sayap Ibu” *tenane?| yo ra ngerti sih*.
Tempat apa ini? kok ada kata-kata
ibu dan anak? Apa si Nadia …….
Itulah
yang saya pikirkan selama memasuki ruangan demi ruangan di gedung yayasan ini.
dan semua pertanyaan-pertanyaan dan pikiran buruk yang saling silih berganti
memenuhi otak saya hilang, Bagai awan gelap yang hilang setelah terkena cahaya
matahari *lebay, Ndut*, setelah
melihat banyak anak kecil yang kaget di kasur mereka saat melihat seseorang
tinggi besar masuk.
Ini manusia apa genderuwo?
Mungkin
itulah yang dipikirkan mereka.
Aje gile, anak siapa ini? banyak
banget! Kok ada disini? Apa ini yayasan buat anak berkebutuhan khusus?
Yep, kaget juga melihat anak-anak
ini, pertanyaan-pertanyaan liar mulai menyelimuti otak saya dan tanpa saya
sadari, Nadia sudah menggendong salah satu anak, mungkin lebih tepat di sebut
bayi, dengan sifat yang jarang saya lihat selama di kampus. Sifat keibu-ibuan!.
Ajegile nih Nadia. Gak mungkin kan itu
dia? Sangar beet!. Masih dalam keadaan shock
dan heran, Nadia menyuruh saya mencuci tangan dan menggendong salah satu anak. Saya
kira, anak-anak tersebut takut dengan kehadiran saya, tapi entah mengapa mereka
justru tersenyum dan tertawa saat saya menghampiri mereka. Akhirnya saya
menggendong salah satu anak yang sangat lucu. Ternyata capek juga menggendong
anak, padahal baru 10 menit, hehehe.
Selama
saya menggendong anak tersebut, Nadia bercerita bahwa yayasan ini menampung
anak yang maaf, “tak diinginkan” orang tua mereka. Berbagai kisah yang
sangat-sangat sedih di dunia ini sudah bersama mereka sejak mereka lahir. Sungguh
kasian mereka, air mata saya hampir jatuh saat saya menatap muka anak yang saya
gendong dalam-dalam (ini jujur). Nadia menambahkan, bukan kisah mereka saja
yang sedih, namun ada beberapa anak yang membutuhkan perhatian lebih karena
kekurangan yang ada di tubuh mereka. Mungkin kalian dapat membaca “TERIMA KASIH”
yang sudah saya posting. Itu berasal dari mereka, anak-anak yang tak berdosa
ini.
Entah
mengapa, anak yang saya gendong begitu ingin turun, saya tak tahu, karena saya
kurang begitu pengalaman dengan hal-hal seperti ini. Saat saya sedang
asik-asiknya menggendong dan sang anak asik meronta, ada salah satu anak yang
ingin mencuri perhatian saya dengan menjatuhkan sendok yang sedang dia bawa,
namanya Wisnu.
“Pak,
atuh. Atuh. Atuh ”, ucapnya dengan nada suara anak kecil yang lucu.
Saya
pun menoleh dan mengambil sendok Wisnu yang jatuh. Saat kepala saya berpaling,
lagi-lagi sendoknya dijatuhkan. Hal tersebut terjadi berulang kali hingga saya
menghampirinya. Anak yang saya gendong masih saja meronta-ronta ingin turun. Saya
pun duduk di lantai sembari mengajak Wisnu berbicara dan anak tersbut hilang
dari pelukan saya. Saya sadar, ternyata anak tersebut ingin berdiri dan
berjalan. Saat saya sedang memperhatikan anak yang saya gendong tadi, tiba-tiba
Wisnu berkata,
“Pak,
tuyun. Tuyun ”, sembari mengangkat tangannya ingin minta digendong.
Akhirnya
saya menggendong kembali anak yang tadi saya gendong (saya belum bisa mengurus
dua anak sekaligus, maaf) dengan Wisnu yang sudah menagis minta turun. Akhirnya
saya mengembalikan anak itu ke kasurnya dengan di akhiri tangisan sang anak. Sungguh
miris hati saya. Saya pun menggendong Wisnu dan membawanya keluar. Rona bahagia
terpancar di wajahnya, ia pun ingin turun dan saya turunkan. Saat kakinya
menyentuh lantai, Wisnu langsung berjalan sesuka hati. Saya pun duduk di salah
satu kursi sembari mengamati Wisnu dan pikiran saya melayang jauh. Sore itu,
entah mengapa hati saya teriris dan sedih. Saya hanya bisa diam seribu bahasa. Seperti patung yang mengharapkan dapat
bergerak, mungkin.
Anak-anak
itu terlihat bahagia walaupun saya tak tahu apa yang ada di hati mereka saat
banyak orang silih berganti menggendong mereka. Mungkin mereka tak tahu apa itu
kasih sayang orang tua, mungkin mereka tak kan pernah mengenal hal itu. Cinta
dan kasih sayang dari orang yang harusnya memberikan hal itu *air mata udah jatuh*, namun saya tahu,
mereka adalah anak-anak yang paling hebat, paling kuat dan paling tegar di
dunia. Mereka akan menjadi orang hebat!. Saya berharap!.
Marilah
kita, sebagai orang yang hendak dan dewasa, untuk jangan memikirkan dan
melakukan free sex! Karena, menurut
saya, hasil dari perbuatan tersebut, selain dosa juga melahirkan sebuah nyawa
baru di dunia ini, yaitu anak. Janganlah kita hanya ingin enaknya, namun juga
memikirkan akibatnya. Anak-anak ini sungguh tak berdosa, jangan kita sia-siakan
sebuah permata yang mata indah, anak, yang dititipkan Tuhan kepada kita. Beri mereka
cinta dan kasih sayang yang abadi dan tulus.
Tuhan, mengapa di dunia ini
banyak sekali sebutan untuk anak yang negatif?. Seperti “anak haram”, “anak
durhaka”, “anak nakal”, “anak yang tak diinginkan” dan sebutan “anak-anak” lainnya?.
Kenapa tidak ada “orang tua durhaka”, “orang tua haram”, dan “orang tua-orang
tua” lainnya?. Adil kah ini?. Padahal anak tak mengaharapkan kehidupan dan tak
menginginkan keadaan dan mungkin tak akan pernah mampu meminta untuk mengubah
kehidupan dan keadaan. Mengapa Tuhan? Mengapa?
Terima
kasih sudah menunjukkan tempat yang istimewa, Teman.
Yogyakarta, 8 Mei 2014
2 comments:
ketika di mata air tidak ada air mata.. by Iwan Fals
hahaha.. gimana om?
Post a Comment