“ And, when you want something, all the universe conspires in helping
you to achieve it.”
-
Paulo Coelho “The
Alchemist”
Dengan bermodalkan nekat dan
prinsip dari Paulo Coelho, salah satu penulis hebat, tibalah saya di pertigaan
– yang saya tak tahu namanya – sambil meratapi angkot petaka yang berasap ria
di sepanjang Jalan Brawijaya. Yah,
tak ada salahnya saya berjalan lagi. Toh,
jaraknya tidak terlalu dekat. Itulah yang pertama saya pikirkan, sehingga
dengan segenap jiwa raga saya berjalan menyusuri Jalan Brawijaya. 10 menit saya
berjalan, ternyata pikiran saya salah karena tanda – tanda adanya lembaga
kursus “Global English” di pinggir jalan belum juga muncul. Butuh waktu sekitar 20 menit dari pertigaan –
yang saya tak tahu namanya – ke lembaga kursus “Global English”. Baju ini penuh
dengan peluh keringat sesampainya di kantor lembaga kursus “Global English” dan
di halaman kantor sudah berkumpul puluhan orang dari seluruh Indonesia. Melihat
gerombolan manusia asing di halaman kantor, saya menjadi panik karena khawatir
kuota untuk tanggal 25 Mei 2016 sudah habis. Dengan sisa – sisa tenaga yang
saya miliki, saya berusaha memecah gerombolan manusia asing tersebut dan masuk
ke dalam kantor “Global English”. Di dalam kantor, keadaannya tak berbeda jauh
dengan di halaman kantor dan lebih pengap karena jarang adanya sirkulasi udara.
Setelah tanya sana – sini dan sok kenal
sok dekat ke beberapa manusia asing itu, kepanikan saya semakin menjadi –
jadi karena mayoritas manusia – manusia itu sudah mendaftar via online.
Bagaimana ini, kalau saya kehabisan kuota, saya harus berjalan kaki lebih jauh
lagi.
Tampak Depaan Kantor "Global English". Sumber : Google |
Prinsip dari Paulo Coelho saya
pegang teguh karena saat itu – hingga saat ini – saya masih menginginkan untuk
pergi ke Aussie. Namun untuk mencapai
apa yang benar – benar saya inginkan, kemampuan berbahasa inggris saya masih
dalam skala “yes or no” saja dan ke
Pare adalah langkah awal untuk mencapai impian saya. Setelah 20 menit mengantri
untuk mendapat giliran mengambil sembako gratis, eh salah.... Setelah 20 menit mengantri akhirnya saya mendapatkan
kesempatan duduk dan bertanya kepada mas – mas kece di belakang meja pendaftaran.
Saya (S) : Mas, pendaftaran untuk
tanggal 25 Mei masih dibuka?
Mas Kece (MK) : Masih mas. Mau kursus berapa bulan? *menunjukkan daftar harga*
S : Sebulan aja mas *melihat daftar harga*.
MK : Oke. Atas nama siapa?
Alhamdulillah, prinsip yang saya
pegang bahwa saat kita menginginkan sesuatu yang benar – benar kita inginkan,
maka seluruh alam semesta ini akan membantu untuk mencapainya. Kata – kata dari
Paulo Coelho ini sudah saya buktikan. Setelah mengisi data diri yang diminta
dan mas kece telah selesai membuat
kwitansi, saya disuruh menunggu di luar kantor untuk mengikuti placement test. Kalau mau les bahasa inggris di “Global English” setiap member yang mendaftar harus mengikuti placement test untuk mengetahui kelas
mana yang sebaiknya kamu ambil. Penguji di test
ini adalah tentor dari “Global English”. Pertanyaan yang diajukan sebatas siapa sih kamu? Dari mana kamu? Buat apa ke
Pare?.
Entah saya dasarnya ngeyel (tidak patuh), disuruh menunggu
di luar kantor, saya justru jalan – jalan mencari minum. Karena selama perjalanan
dengan jalan kaku dari pertigaan – yang saya tidak tahu namanya – menuju ke
kantor “Global English” mata saya tertarik pada salah satu warung yang memiliki
banner khas “Indom*e” berwarna merah
dan hijau (orang jogja pasti tahu lah),
akhirnya saya menuju ke warung tersebut karena untuk mengobati rasa penasaran
saya. Masak iya di Pare ada burjo?. Skip, setelah jalan jauh, akhirnya saya
sampai di warung tersebut yang ternyata tidak menjual bubur kacang ijo,
melainkan menjual nasi rames, nasi pecel dan makanan berat lainnya. Akhirnya
saya masuk ke warung tersebut dan memesan teh manis. Di warung inilah saya
menemukan dua orang manusia yang tidak jelas hidupnya (maaf ya mas, heheh, bercanda) yang akhirnya menjadi teman saya
selama di Pare. Awalnya saya duduk di seberang mereka dan menanyakan bagaimana
keadaan di Pare.
Setelah mengobrol mengenai Pare,
akhirnya saya pindah duduk satu meja dengan mereka. Obrolan makin menjauh dari
kehidupan di Pare dan menyinggung masalah kopi. Obrolan kami makin seru karena
kami sangat menyukai kopi dan akhirnya saya mengetahui nama kedua orang yang
tidak jelas tersebut. Mereka adalah orang yang sudah lulus pendidikan S-1 dan
ingin melanjutkan S-2 di luar negeri. Satu orang bernama Andika yang berasal
dari Aceh dengan logat Aceh-nya masih kental saat berbicara. Seorang lagi
bernama Sota yang berasal dari Mojokerto (Kalau tidak salah). Dua orang ini sama
– sama mengambil les di “Global English” namun berbeda program dengan yang saya
ambil. Mereka mengambil program “IELTS Camp” sedangkan saya mengambil program
reguler.
Bang Sota, salah satu orang yang enggak cetho yang pernah tak kenal. tapi orangnya pintar, suka membantu dan rajin menabung. |
Satu jam kita mengobrol, saya
pamit undur diri dan kembali ke kantor “Global English”. Sesampainya di kantor,
saya pun mengikuti placement test
dengan mbak tentor – yang saya lupa namanya – selama kurang lebih 10 menit. Dengan
persiapan yang ala kadarnya dan sama sekali tidak bisa menjawab “What’s your name?”, mbak tentor – yang saya
lupa namanya – menyarankan saya untuk mengikuti kelas yang paling dasar. Disinilah
ke-ngeyelan saya timbul kembali. Saya
berdiskusi sambil memaksa kelas apa yang akan saya ambil. Setelah diskusi yang
alot, akhirnya saya mengambil kelas yang saya butuhkan yaitu, pronunciation 1, grammar 1 dan pre-speaking. Untuk kelas pronunciation 1 dan grammar 1 memang saya butuhkan, namun kelas pre-speaking? Saya masih ragu apakah itu saya butuhkan atau tidak
dan kelas itulah yang saya diskusi dengan mbak tentor – yang saya lupa namanya –
hingga memakan waktu lama. Saya kembali masuk kantor untuk daftar ulang dan
betapa terkejutnya saya, ternyata saya sudah ditinggal oleh rombongan yang akan
menuju ke camp. Saya pun bertanya
kembali ke mas kece yang berada di
belakang meja pendaftaran perihal kelanjutan nasib saya. Alhamdulillah, saya
mendapatkan perlakuan VIP dari mereka karena saya diantar sendirian menggunakan
sepeda motor.
Betapa terkejutnya saya setelah
sampai di tempat yang akan saya tinggali selama satu bulan. Ternyata berbeda
jauh dengan yang ditampilkan “Global English” di web. Tidak semewah yang ada di
web. Tapi persetanlah saya, karena
disini saya ingin belajar bahasa inggris bukan tinggal di camp yang mewah. Di depan pintu masuk camp, tertulis besar “12 PM
EATERY” dan masuk kedalam terpasanglah banner
besar berwarna hitam dan merah – saya lupa – bertuliskan “WELCOME TO 12 pm” lengkap dengan slogannya “WHEN ENGLISH IS JUST PIECE OF CAKE” dengan gambar orang – orang bergandengan
tangan dan sebuah donat yang sudah setengah dimakan. Banner tersebut juga sebagai penutup ruangan bersama di camp tersebut. Camp tersebut memiliki 14 kamar yang satu kamarnya dapat diisi 3-4
orang. Setiap kamar di fasilitasi 1 kipas angin, satu kasur yang besar, 1
lemari, 1 colokan dan 1 roll. Camp tersebut berbentuk U dengan
ruang bersama berada di tengah – tengah bangunan. Ruang bersama ini digun akan
untuk kelas pagi dan kelas sore. Selain itu, digunakan untuk saling bercanda
dan bersosialisasi. Di ruangan bersama ini terdapat 1 TV tabung yang sudah
tidak kuat lagi menjalankan tugasnya. Camp
ini sejatinya memiliki 6 kamar mandi, tapi 2 kamar mandi sudah almarhum dan
tersisa 2 kamar mandi dibelakang dan 2 kamar mandi di depan. Terdapat salah
satu kamar, kamar nomer 8, yang jarang digunakan dan beredar cerita horor
tentang kamar tersebut. Dilihat dengan seksama, camp ini rasanya dibangun ala kadarnya, asal kuat dan bisa
ditempati. Ada beberapa bak sampah berupa galon yang sudah dipotong di depan
kamar. Suasana saat itu amat sepi, panas dan masih bersih. Hanya terdapat
beberapa ratus putung rokok di sekitar ruangan bersama. Kalau mau tahu
bagaimana camp “12 pm” ini, datanglah
ke Pare dan anda akan terkejut setelah sampai dan tinggal disana. Anda akan
menemukan persahabatan yang tidak fake
di camp ini.
Camp yang ada web di internet.Coba bandingin ama foto yang dibawah (12 pm), jauh dari ekspektasi. sumber : google |
12 pm tampak dalam. sumber : foto grup line |
12 pm bagian dalam. kan ya beda jauh sama foto yang ada di web. sumber : foto grup line |
Masuklah saya ke camp dan mencari tentor yang bertanggung
jawab di camp tersebut, tapi saya
tidak menemukan tentor tersebut dan diantar salah satu member ke kamar saya, kamar 10 “The room number ten”, kamar yang nantinya paling rusuh selama
sebulan. Sebenarnya, hari itu saya ada kelas grammar 1 jam 11:00 WIB, tapi saya memutuskan tidur karena telah
menempuh perjalanan jauh dan sepanjang malam saya tidak bisa beristirahat. Saya
pun masuk ke kamar dan mendapati ada satu koper dan sebuah bodypack yang sudah duduk manis di pojokkan kamar dan satu slop
rokok “Mustika”. Saya pun meletakkan tas carrier
saya yang beratnya minta ampun dan terlelap tidur di “kasur angin” (Saya sebut “kasur angin” karena kasur
tersebut hanya berisi angin bukan kapas sehingga kalau dipake buat tidur akan
kempes).
Terbangunlah saya pukul 15:00 WIB
dan mendapati seorang manusia di pintu kamar beridiri mematung dengan muka
terkejut melihat ke arah saya. 30 detik suasana di kamar nomor 10 ini hening
dan saya beranikan diri untuk menyapa orang yang masih mematung di pintur kamar
itu.
Saya (S) : Eh, halo. Maaf ya, capek, jadinya saya tertidur. Namamu siapa?
Orang Yang Mematung Di Depan
Pintu (OYMDDP) : Oh, halo mas.
Taufik. Mas-nya?
S : Jack *bangun dan mengulurkan tangan*.
OYMDPP (selanjutnya saya
menuliskan Taufik (T) : *menerima jabatan
tangan saya*.
S : Udah lama disini? Ambil program berapa bulan?
Taufik (T) : Enggak, Mas. Baru tiba kemarin. Aku ambil program 1 bulan. Kalau mas
sendiri?
S : Sama, satu bulan juga. Eh, itu tas-nya siapa yah?
T : Oh, itu tasnya Andi. Dari Jakarta. Baru dateng kemaren juga.
S : Anaknya dimana? Eh, denger
– denger disini kudu pake bahasa
inggris yah kalau ngomong? Udah jalan?
T : Wah kurang tahu aku mas. Iya,
tapi belum mulai kok, jadi santai aja.
Taufik "si anak lurus" (kiri berselempang sarung) lagi ngerayu cewek buat jadi istrinya. |
Setelah obrolan basa – basi sore
itu, saya tahu siapa Taufik ini. Anak Padang asli yang merantau di Bandung
untuk mencari ilmu di salah satu perguruan tinggi ternama di Indonesia, ITB, dan
orang yang amat sangat lurus, memiliki keimanan yang kuat, selalu mengejar
nilai yang terbaik, memiliki keinginan yang kuat, mungkin sulit bergaul dan freak. Selama di Pare, saya selalu
dibangunkan saat pagi buta untuk menunaikan sholat subuh. Arrgggghhhhh, napa yang bangunin cowok sih. Bukannya cewek. Dari si
Taufik pula, saya tahu salah satu warung makan yang murah (namun ternyata tidak
murah, hahaha). Karena perut ini mulai mengeluh ingin diisi sesuatu, saya pun
pergi ke warung yang ditunjukkan Taufik.
Skip, saya sudah selesai makan. Saya masuk kembali ke kamar dan
melihat orang yang sigap bangun dari tidurnya dan menjulurkan tangan sambil
berkata “Andy”. Saya yang masih kaget hanya berdiam diri dan 10 detik kemudian
membalas jabatan tangannya. Andy ini adalah kawan saya selama satu bulan hidup
di Pare dan kawan rusuh saya. Orang yang datangnya dari Jakarta dan pergi ke
Pare selain untuk belajar bahasa inggris juga ingin memiliki waktu sendiri. Saya
dan Andy memiliki pemikiran dan tibiat yang hampir sama. Bersama dengan dia,
kami mendatangkan angin puting beliung di camp
“12 PM” ini. Di kamar ini lah, kata sumpah serapah dalam berbagai bahasa bergema
pertama kali dan terdengar jelas setiap hari. “The room number ten”, kamar yang dianggap member camp paling rusuh dan paling enggak jelas. Saat bulan puasa,
disiang hari hanya kamar ini yang mengeluarkan “asap”.
Penjelesan kawan – kawan saya selama di Pare akan saya tuliskan di lain
kesempatan. Yang jelas, mereka orang yang memiliki pemikiran yang sama dengan
saya.
Saya (S) : Eh, itu rokoknya siapa? *menunjuk
satu slop rokok di atas meja*
Andy (A) : Rokok Gua. Rokok kagak enak itu mah.
Saya (S) : Enggak enakan rokokku mah. Rokok lintingan *mengeluarkan rokok
lintingan*.
Andy, lagi nongkrong depan camp. kesukaannya minum "susu macan". yang di botol aqua itu "susu macam aka ciu khas kediri. Dia bisa makan minumnya bukan teh botol sos*o, tapi "susu macan". |
Itulah percapakan pertama saya
dengan Andy dan percakapan yang menandai pertemanan saya dengan Andy. Entah kenapa,
dengan percakapan mengenai rokok itu, saya sudah mendapatkan chemistry dengan Andy sehingga kami
menjadi klop. Malam harinya saya
mengajak Andy nongkrong di salah satu cafe yang disebutkan oleh dua orang yang
saya temui di warung tempat saya minum, Bang Andika dan Bang Sota. Andy mengajak
tiga kawannya di salah satu kelas untuk bergabung dan malam itulah, terbentuklah
persahabatan anti – borjuis, yang terdiri dari saya, Andy, dan kedua kawannya
yang akan saya ceritakan di lain kesempatan. Malam semakin larut dan Bang
Andika dan Bang Sota pun datang dan kita berbicara panjang lebar mulai dari kultur
tempat tinggal, kopi kopi hingga “daun” khas Aceh.
0 comments:
Post a Comment